(Potret nasib Mamasa)
Aksi |
Tak terasa umur mamasa hingga
hari ini sudah 12 tahun menjadi sebuah kabupaten setelah pecah dari kabupaten
induk yaitu Pol-Mas. Namu dampak pembangunan di daerah mamasa sebagaian besar masyarakat
menilainya tidak maksimal dan sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak semenjak
mamasa belum menjadi kabupaten jalan poros polewali mamasa hingga kini
kondisinya masi sama pada hal sudah disebut sebagai kabupaten. Jika masalah
tata ruang dijelaskan di mamasa secara keseluruhan mungkin hanya 2 % yang punya
nilai psoitif selebihnya adalah masalah. Oleh karena itu penulis hanya mengambil 1 sampel masalah
yaitu infrastruktur jalan. Hampir semua kalangan rakyat mamasa mengeluhkan
dengan keprihatinan yang sama tentang
jalan utama dari mamasa ke polewali.
Ironisnya
jalan yang boleh dikatakan sebagai jalan utama dalam sejarah dirintisnya
mamasa, seolah-olah diabaikan, justru jalan yang menghubungkan mamasa, malabo,
mambi tembus kemamuju yang di proritaskan padahal jalan ini sangat sepi penguna
jalanya, apa maksudnya?. Jalan dari mamasa ke polewali boleh dikatakan sangat
ramai pengguna jalanya karena menghubungkan banyak daerah yang bisa menyuplai
kebutuhan-kebutuhan orang mamasa, tapi faktanya hingga hari ini jalan tersebut
hanya di tambal pasir dan kerikil, meskipun sudah beberapa dilakukan
pengaspalan tapi yah seadaanya bisa di lihat langsung seperti apa fakta di
lapangan. Dalam analisa saya nampaknya pemerintah propinsi dengan kabupaten
juga memainkan politik dalam soal ini, semoga saja salah. Dengan mengacu kepada
permasalah infrastruktur ini sangat beralasan jika masyarakat mulai geram,
karena apa pun alasanya ini menjadi bagian dari kehidupan rakyat mamasa.
jalan poros Mamasa |
jalan poros Mamasa |
Melalui
tulisan ini penulis sangat berharap ada sebuah nilai yang bisa diyakini bersama
semua masyarakat untuk bisa mengembalikan daerah kita untuk bisa lebih dekat
dengan pembangunan yang berkelanjutan dan mengedepankan kehidupan rakyat itu
sendiri, karena esensi demokrasi mesti melindungi rakyat. Jika akhir-akhir ini
ada wacana untuk melakukan aksi turun jalan untuk protes terkait masalah di
atas, maka itu sangatlah wajar dan sangat diharapkan. Karena ssesungguhnya
pemerintah memahami apa yang ingin mereka lakukan namun karena melawan egonya
tentang ‘kekuasaan uang’ yang sudah
melekat lama yang sulit di tinggalkan maka dari itu rakyatlah yang selalu
menanggung imbasnya. Bagi penulis proses negosiasi, diplomasi dengan pemerintah
kita di mamasa bukanlah hal yang tepat, karena orang mamasa di besarkan dalam
filsofi “misa kada di potuo pantan kada dipomate” yang menurutku
filsofi ini sudah menjunjung tinggi tentang kemanusiaan, jika filsofi ini benar di sadari dan
dilekatkan dalam setiap tindakan mestinya kita dipimpin oleh pemerintah yang
bermartabat mengedepankan nilai norma dan HAM, tapi jika hal ini sebaliknya
maka itu berarti kesengajaan dan kerakusan.
Jika
demonstrasi besar-besara terjadi di Mamasa, maka kerurgian ini bukan ada di
pemerintah namun ada di masyarakat, karena demostrasi adalah jalan terakhir dan
ini adalah bagian dari revolusi maka imbasnya adalah trauma bagi anak cucu. Tapi
kalau ini tidak dilakukan maka rakyat mamasa dan juga generasinyalah yang
paling rugi karena terus di kerangkai oleh sistem dan pemimpin yang tak mampu
meletakan nilai humanis dalam mengontrol sistem. Pernyataan di atas nampaknya
ambigu namun jika ditarik benang merahnya tentu ada salah satu yang di
eliminasi antara sistem atau yang memimpin sistem, rakyat tidak mungkin di
eliminasi. oleh karena itu demostrasi besar-besaran sangat mungkin terjadi,
jika kesadaran terus di bungkam oleh pemerintah kabupaten dan propinisi. Seorang
sejarawan modern bernama Toynbee mengatakan “manusia disebut manusia buka
ketika ia bisa menguasai sumber daya menguasai tehknologi , tapi manusia
disebut manusia ketika fajar kesadaranya telah bangkit, jika kesadarnya belum
bangkit maka ia belum menjadi Homo Sapiens yang sudah berpikir, namun masi Homo
Erectus yang hanya bisa berjalan tegak lurus.