Thursday 30 June 2011

KEGAGALAN AGAMA DALAM MENJALANKAN DEMOKRASI DI INDONESIA

 Realitas Sosial di Indonesia
Pendahuluan
Peranan sosial agama harus di lihat sebagai sesuatu yang mempersatukan. Atau dalam pengertian harafianya agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik antara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Karena nilai-nilai yang mempersatukan sistem-sistem kewajiban sosial di dukung bersama oleh kelompok-kelompok keagaman, maka agama menjamin adanya persetujuan bersama dalam masyarakat. Dan agama juga cenderung melestarikan nilai-nilai sosial.

            Memang agama mempersatukan kelompok pemeluknya sendiri begitu kuatnya sehingga apabila ia tidak dianut oleh seluruh atau sebagian besar anggota masyarakat, ia bisa menjadi kekuatan yang mencerai beraikan, memecah bela dan bahkan menghancurkan. Di samping itu juga agama tidak hanya selalu memainkan peranan yang bersifat mempelihara dan menstabilkan. Khususnya pada saat terjadi perubahan besar di bidang sosialdan ekonomi, agama sering memainkan peranan yang bersifat kreatif, inovatif, dan bahkan bersifat revolusioner.

            Dalam usaha menganalisa fungsi-fungsi sosial dari tingkah laku keagamaan. Kita harus berhati-hati membedakan antara yang ingin dicapai oleh anggota- anggota suatu kelompok pemeluk tertentu dan akibat yang tidak dikehendaki dan tingkah laku mereka dalam kehidupan masyarakat. Tampa adanya tingkah laku seperti itu, sangat boleh jadi tingkah laku keagamaan tidak akan diaksanakan. Hal inilah yang sebenarnya gagal di analisa oleh sebgian besar umat beragama di indonesia, sehingga apa yang menjadi nilai-nilai dari agama yang diyakini dalam masyarakat kita, tidak teraplikasikan dengan baik. Mungkin begitu kasar ketika kita mengatakan bahwa bukan lagi nilai-nilai agama yang di perjuangkan, tetapi sebuah ideologi, tetapi itulah realitas yang terjadi.

            Agama mengajarkan moral dan etika untuk hidup dalam suatu masyarakat. Universalitas moral dan etika menjamin keaneka ragaman budaya, adat dan kebiasaan serta warisan genetika. Namun agama seringkali disalah gunakan untuk membasmi sesuatu yang berbeda pada aspek budaya, adat, kebiasaan dan warisan genetik. Namun nampaknya agama tidak berdaya sama sekali dalam mencegah penyalahgunaan tersebut. Malahan agama nampaknya digunakan oleh ambisi kekusasaan dan menghalalkan pembasmian-pembasmian terbatas maupun tak terbatas, di bumi Indonesia yang penduduknya konon, hampir 100% beragama justru kemaksiatan, percabulan, perjudian, KKN, aniaya, kejahatan, narkoba, pelacuran, konflik antar umat beragama, bermunculan gerakan-gerakan radikal. Berbagai masalah ini yang bernuansa, seolah menjadikan bangsa indonesia takut akan komunitasnya sendiri, trauma yang mendalam, akibat konflik yang berulang kali terjadi di bangsa ini, konflik agama yang terakhir terjadi yaitu di temanggung beberapa bulan yang lalu, tentunya tragedi ini meninggalkan luka yang mendalam bagi yang berkonflik, terlebih lagi masyarakat setempat yang bermukim di sekitar tempat kejadian.

         Ada apa dengan agama di Indonesia sebenarnya,? Ini adalah pertanyaan mendasar yang akan muncul,
Jawabannya sederhana, agama (entah disadari atau tidak) ada dalam kekuasan manusia dan bukan dalam kekuasaan Tuhan. Kata Tuhan masih sering diperdebatkan padahal seseorang yang mengatakan. Tuhan kepada apa dan siapapun menyatakan bahwa ia adalah abdi atau hamba dari yang ia nyatakan sebagai
Tuhan.

         Rupanya Tuhan  sudah terpisah dari agama oleh ulah manusia yang mengabdi kepada agama dan bukan kepada Tuhan jadi agama sudah menjadi Tuhan bagai banyak orang di Indonesia. Terbukti bahwa pada hampir semua formulir data seseorang ada kata agama, sehingga dalam seluruh dokumen formal di Negeri ini lebih banyak kata "agama" dari pada kata Tuhan. Inilah penulis maksudkan sebelumnya, bahwa umat beragama sudah tidak memperjuangkan nilai-nilai yang terkandung dalam agama, tetapi perjuanganya sudah beralih kepada ideologi semata. Inilah ketertarikan penulis untuk mengambil topik tentang kegagalan agama dalam menjalankan demokrasi, karena saya berpendapat bahwa agama tidak mampu menyelenggarakan masyarakat yang bermoral tinggi dan mulia dalam berdemokrasi. 

Agama dan Demokrasi
Jika dikaji secara natural, sebenarnya nilai-nilai yang di bawa oleh agama merupakan refleksi kritis atas permasalahan yang terjadi pada kehidupan sosial-kemasyarakatan. Masalah-masalah sosial pada masa turunnya agama-agama adalah ketika terjadi banyak ketimpangan-ketimpangan sosial baik di bidang politik, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Semangat yang di bawa oleh agama adalah semangat pembebasan manusia dari segala bentuk ketimpangan itu dan menuju pribadi sosial yg egaliter atau setara, berkebebasan dan demokratis.

Pada hal ini, kita jumpai terdapat nilai-nilai demokratis dalam semangat ajaran agama, bahwa segala gap sosial harus di benahi dan mewujudkan kesejahteraan serta kebebasan sebag bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalm bingkai pemahaman egalitarianisme sosial.

Di dalam konsep agama dan demokrasi terdapat perbedaan secara fundamental. Perbedaan terlihat di ranah ontologis. Aktualisasi prima sikap keberagamaan adalah penyerahan diri sepenuhnya pada kehendak Tuhan. Sementara demokrasi mewujud dalam sikap sedia bernegosiasi dengan mempertimbangkan kehendak orang lain. Demokrasi berarti menempatkan kehendak dan rasionalitas manusia yang terlembagakan sebagai referensi tindakan sosial kemasyarakatan dan bernegara. Sedangkan dalam khidupan beragama, yang menjadi referensi puncak adalah ajaran Tuhan. Selain hal yg di sebutkan, secara historis antropologis, sosiologis, sjarah agama tak terlepas dari realitas kenyataan, peran agama tidak jarang hanya di gunakan untuk kpentingan politik dan kekuasan dalam mempertahankan status quo, sehingga memunculkan gerakan sektarian pemberontakan.

         Secara teologis pula kita pahami bahwa, ajaran agama yg bersifat deduktif-metafisis dan selalu mendasarkan rujukan pada Tuhan (padahal Tuhan tak nampak secara empiris), sementara demokrasi adalah persoalan empiris dan bersifat dinamis, maka agama tak punya kompetensi untuk berbicara dan menyelesaikan persoalan demokrasi. Meskipun terjadi perbedaan pada ranah ontologis, tapi keduanya menemukan kesepahaman di ranah aksiologis, bahwa agama dan demokrasi teraktualisasi dalam objek yang sama, yaitu manusia degan segala kompleksitasnya. Titik temu agama dan demokrasi ini menebarkan doktrinitas yang egaliter agar keduanya memiliki premis dan komitmen yang sama tentang cita-cita kemanusiaan yang menjadi objek aksiologisnya.

          Asumsi tersebut di wujudkan dalam bentuk bertemunya cita-cita demokrasi dan komitmen agama sebgai refleksi keimanan untuk menegakkan masyarakat yg egaliter dan dalam bingkai kesejahteraan sosial. Agama dan demokrasi harus mampu saling mengisi dan mengayomi khidupan berbangsa dan bernegara. Dan sebenarnya cita-cita inilah yang menurut penulis ingin diwujudkan dalam negara demokrasi seperti indonesia, jika demokrasi dikaji dari sudut pandang agama, itu sangat memungkinkan demokrasi itu terwujud, karena agama sangat menjunjung tinggi etika moral, menentang kekerasan, menentang diskriminasi dan yang bekaitan dengan pelanggaran abmoral. Andai ini bisa dijalankan lembaga agama maka indonesia akan bebas dari masalah seperti kekerasan, diskriminasi SARA, dan KKN. Tetapi hingga sekarang ini wujud dari demokrasi itu masi sangat jauh. Persoalannya, bagaimana memberi ruang gerak bagi ormas dan partai keagamaan yang ada tetapi tetap konsisten membangun demokrasi secara rasional sehingga agama dan negara tumbuh saling melengkapi, bukannya intervensi ataupun melakukan kooptasi. Akhir-akhir ini muncul gejala yang perlu dicermati bersama, jangan sampai tampilnya partai dan tokoh-tokoh agama dalam panggung,  politik akan membunuh bibit dan pohon demokrasi mengingat hubungan agama dan demokrasi tidak selalu positif.

            Seandainya umat beragama dalam menjalankan roda demokrasi di indonesia, sesuai pandangan etika agama yan lebih menitik beratkan kepada tanggung jawab moral, yang menganggap bahwa lembaga-lembaga politik sebagai alat bagi umat beragama untuk mengejar tujuan-tujuan duniawinya yang dikuduskan dan cita-cita bagi surgawinya, dan juga menginterpretasikan kekuasaan politik dari sudut moral, maka agama sangat dimungkinkan bisa menjadi dasar dari perjalanan demokrasi di indonesia. Karena semua kekuasaan duniawi dianggap sebagai pemberian Tuhan, kepada parapemegangnya sebgai tugas sucinya. Jadi bukanlah berarti bahwa umat beragam di larang untuk terjun ke bidang politik, tetapi dalam artian keterlibatanya di dalam bidang tersebut, harus dalam tuntunan imanya, dan juga penuh tanggung jawab sosial, dan tanggung jawab sakralnya yang di ilhamkan oleh Tuhan.

            Tanggung jawab inilah yang sesungguhnya terlupakan oleh umat-umat beragama, dalam menjalankan otoritasnya baik dalam bidang politik, ekonomi, sosiologi, semuanya sudah tak terkontrol lagi, mereka hanya terbawa dengan euforia dalam moment tertentu, keserakahan material haus kekuasaanlah sebagai pemicu atas terlupakanya tanggung jawab sosialnya sebagai umat Tuhan. Di mana-mana terjadi kekerasan, konflik antar umat beragama, saling fitna, karena dengan alasan kekuasaan, kepentingan pribadi, semuanya tidak teraplikasikan lagi dalam ruang agama, semuanya lepas dengan alasan yang tidak sesuai dengan moralitas umat beragama. Penulis berharap ini jangan di pandang sebagai tantangan, tetapi ini adalah kewajiban yang terlupakan, bukan sesuatu yang hadir dengan tiba-tiba, karena dilupakanya tanggung jawab ini sehingga berbagai macam masalah yang muncul, yang mungkin kita mengibaratkanya sebagai tantangan baru, dalam realitas sosial.

Kesimpulan
Dari paparan di atas kita bisa menarik kesimpulan, bahwa hubungan agama dengan demokrasi memang sangat dipentingkan untuk menuntun perjalanan demokrasi. Agama diharapkan bisa menjadi dasar yang kuat untuk menopang berdirinya demokrasi. Tetapi ralitas yang terjadi dalam negara indonesia belum bisa menjamin bahwa peran agama dalam menopang berdirinya demokrasi belum mampu menjadi dasar yang kuat. Berbagai macam indikator yang bisa kita indentifikasi, yaitu pandangan umat beragama terhadap agama itu sendiri sudah bergeser, saya berasumsi bahwa bukan lagi agama dipandang sebagai alat menghubungkan diri dengan Sang Pencipta, tetapi seolah-olah agamalah yang telah menjadi Tuhan. Yang diperjuangkan adalah ideologinya bukan lagi nilai-nilai agamanya.
Oleh: Fandi













Friday 24 June 2011

TRIAS POLITICA




Sudahkah kalian mengetahui lembaga kekuasaan pemerintahan yang tertinggi, yang kini disebut dengan istilahTrias Politica..? jiak belum silahkan menyimak tulisan singkat ini terkait dengan Tria Politica.

Trias Politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga bagian kekuasaan yang pertama adalah kekuasaan legislatif, atau kekuasaan membuat undang-undang  (dalam peristilahan baru disebut dengan rulemaking function). Kedua kekuasaan eksekutif, atau kekusaan melaksanakan undang-undang  (dalam peristilahn baru disebut dengan rule aplication function). Ketiga, kekusaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (dalam peristilahn baru disebut adjudication function). Trias politica adalah suatu prinsip normatif bahwa kekusaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegahpenyalahgunaan kekusasan oleh pihak yang berkuasa.

                Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan kemudian dikembangkan oleh Montesquei (1689-1755), yang mana pada taraf itu ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan  (separation of power). Pada prinsipnya, dasar dari pemikiran doktrin Trias Politica sebelumnya sudah pernah di tulis oleh Aristoteles, sehigga dengan begitu doktrin Trias Politica bukan merupakan ajaran yang baru bagi Montesquei.

                Menurut Locke Kekuasaan dibagi atas tiga, yaitu kekusaan legislatif, eksekutif, dan federatif, yang masing-masing terpisah satu sama lain. Kekuasaan legislatif ialah kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang ; kekusaan eksekutif, ialah kekusaan melaksanakan undang-undang, dan di dalamnya termasuk mengadili, dan kekuasaan federatif ialah kekuasaan meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubunganya dengan negara lain, seperti membuat aliansi dan sebagainya. Sementara Montequei, membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang yaitu, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Menurutnya, ketiga cabang ini haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakanya. Menurut Montesquei, kekuasaan legislatif adalah kekusaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi,penyelenggaraan undang-undang (ini lebih kepada tindakan politik luar negri), dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Perbedaan di antara Locke dan Montequei adalah locke memasukan kekuasaan yudikatif ke dalam eksekutif, sedangkan Montesquei kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan yang berdiri sendiri. Kemudian, kekuasaan hubungan luar negri yang disebut Locke sebagai kekusaan federatif, maka Montesquei memasukanya ke dalam kekuasaan eksekutif.

Di bawa ini penulis akan klasifikasikan Lembaga-Lembaga Negara berdasarkan Trias Politica sbb:
  • Lembaga Legislatif
Lembaga legislatif adalah lembaga yang memiliki kekuaan untuk membentuk undang-undang, setelah mengidentifikasi kewenangan lembaga-lembaga negara dalam UUD 1945 setelah empat kali di ubah, maka dapat disebut lembaga legislasi di indonesia adalah
  1. DewanPerwakilan Rakyat.
  2. Presiden

  • Lembaga Yudikatif
Lembagai kekuasaan kehakiman atau yudikatif adalh melakukan kintrol terhadap kekuasaan negara guna terjadinya proses intrumentasi yang menempatkan hukum menjadi bagian dari kekuasaan. Oleh karena itu, lembaga peradilan memeang peranan penting dalam menjaga agar jangan sampai terjadi penyalagunaan kekusaan.

Dalam lembaga peradilan ini haruslah memenuhi persyaratan tertentu di antaranya
  1. Adanya suatu aturan Hukum yang abstrak yang mengikat umum, yang dapat diterapkan pada suatu persoalan.
  2. Adanya suatu perselidihan hukum yang konkrit
  3. Ada sekurang-kurang 2 pihak
  4. Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan peradilan.
Pwerwujudan kekuasaan kehakiman melekat pada mereka yang menjalankan kekuasaan kehakiman. Apakah kekusaan kehakiman itu merdeka atau tidak tergantung pada jaminan dan perlindungan atas kemerdekaan atas kebebasan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
  • Lemabaga Eksekutif
Lembaga ini dikenal sebagai lembaga pemerintahan yang di dalamnya dipegang oleh presiden, dapat dikatakan bahwa ia memiliki kewenangan yang sangat dominan dalam ketentuan undang-undang. Dominanya kewenangan presiden , misalnya terlihat pada mekanisme pembuatan UU dan Perpu yang menunjukan bahwa kekuasaan presiden masi mendominasi cabang-cabang kekusaan lain. Begitu pula persiden memiliki kewenangan untuk menolak RUU dari DPR, apabila presiden mengusulkan RUU dan DPR menolaknya, Presiden mempunyai instrumen Perpu. Perpu inilah yang dijalankan Oleh Presiden.
  
Struktur hubungan Trias Politica
 
                Konsitusi bagi negara Demokrasi, seperti negara indonesia merupakan sebuah keniscayaan. Selain untuk menjamin hak asasi manusia dan warga negara. Konsitusi juga merupakan istrumen untuk membatasi kekusaan dari para “penguasa”. Jika kita mengikuti konsep Trias Politica, maka kekusaan yang terdapat pada sebuah negara meliputi kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, ketiga kekuasaan tersebut tentunya tidak boleh saling mendominasi antara satu dengan yang lainya. Pemisahan kekuasaan ini bukanlah “keterpisahan” fungsional  tetapi lebih pada independensi antar lembaga untuk menjalankan kewenanganya...


Salam Demokrasi


  

Friday 10 June 2011

KEPERCAYAAN LOKAL "VS" KEPERCAYAAN MODERN (AGAMA) DI MAMASA

Dalam negara Indonesia begitu banyak kebudayaan , yang melekat di berbagai daerah di indonesia,  serta masing-masing memiliki ciri khas tersendiri. Kecenderung kebudayaan yang dimiliki suatu daerah, berbeda dengan daerah lain meskipun konteksnya sama, misalkan acara orang mati, memang konsepnya sama yaitu acara duka namun dalam proses pelksanaanya dalam mengupacarakan berbeda-beda pula, misalkan di bali jika keturunan bangsawan, itu dilakukan pembakaran mayat (ngaben) di toraja rambu solok, mayat disimpan bertahun-tahun di rumah sebelum dimakamkan, tergantung strata sosial yang disandang, dan ada juga yang langsung dimakamkan. Inilah yang disebut kekhasan kebudayaan daerah di indonesia.
            Berkaitan dengan topik di atas di sini penulis ingin mengkaji ulang asal muasal dari sebuah kebudayaan, karena kita pahami kebudayaan itu adalah produk yang di gagas manusia, kemudian di praktekkan secara turun temurun. Yang menjadi pokok pembahasan ini saya ingin memperkenalkan salah satu kepercayaan lokal yang ada di Mamasa, yaitu Aluk Todolo, yang konon orang-orangnya yang banyak menggagas sebagian besar warisan budaya di mamasa yang kmudian dipraktekkan sampai sekarang ini. Seiring dengan perkembangan jaman, kepercayaan ini sudah kian memudar, baik pemeluk kepercayaan, kebudayaan kini tak lagi terjamin loyalitasnya seperti dari awal perkembanganya, ada berbagai macam sebab yang menjadi faktor kepudaran nilai-nilai dalam kepercayaan lokal ini, yang pertama adalah pola komunikasi, perkembangan ilmu, pengetahuan, kontrak sosial (perkawinan) dengan kepercayaan modern yang dikenal dengan Agama atau kepercayaan yang diwahyukan Tuhan.
            Masuknya agama-agama besar di daerah Mamasa, seperti, Kristen, Islam, Hindu, yang menjadikan pemeluk-pemeluk kepercayaan lokal ini mulai beralih, yang kemudian meninggalkan kepercayaan Lokal tersebut, proses peralihan kepercayaan ini cenderung melalui pola perkawinan, pola komunikasi, dan juga perkembanagn ilmu pengetahuan, . Ironisnya ketika mereka meninggalkan kepercayaan tersebut, secara tidak langsung, benih-benih warisan dari kepercayaan tersebut, mulai memudar bersamaan dengan perubahan pola peralihan kepercayaanya. Tetapi dalam tataran memudarnya nilai-nilai kebudayaan dalam keprcayaan ini, penulis tidak mengeneralisasi, bahwa semua masyarakat yang sebelumnya memeluk kepercayaan lokal ketika masuk dalam agama-agama “modern”  semuanya melupakan warisana budaya, ada beberapa masyarakat yang sudah memeluk kepercayaan modern,  tetapi masi sering mempraktekkan ritual-ritual yang berasal dari kepercayaan lokal.
            Karena penulis sangat menyadari bahwa kebudayaan itu sangat penting untuk tetap di jaga eksistensinya, karena kebudayaan bisa menjadi salah satu identitas kedaerahan,  dan tentunya bisa menjadi bagian promosional daerah itu sendiri. Ada beberapa warisan budaya yang ditanamkan oleh  keprcayaan Aluk Todolo  di mamasa, misalkan acara ‘Rambu Tuka’ syukuran saat selesai panen, mendirikan rumah baru, perkawinan, Rambu Solo” (kedukaan),  dan di daerah Messawa Sumarorong, dan Simbuang ada di kenal dengan istilah Memala’ yang bertujuan untuk meminta keselamatan manusia di bumi kepada Dewata (Tuhan), dan juga Mangatta, yaitu memandihkan anak-anak mulai dari umur 2 thn-7 thn, bertujuan supaya pertumbuhan si anak menjadi baik.
            Namun di akhir-akhir ini ada beberapa ritual-ritual tersebut sudah sangat jarang di praktekkan kembali, misalkan Memala’ (hubungan manusia dengan alam), mangngatta,  (tentang keselamatan bayi). Penulis pernah mencoba berdiskusi dengan teman-teman yang sudah memeluk agama Kristen,  dan saya mencoba mengkorelasikan ritual  yang di atas dengan pandangan kekristenan, namu sebagian menganggap, hal tersebut tabu dan “dan berbau animisme”, sementara saat saya bertemu langsung dengan sala seorang pendeta di Mamasa ia mengatakan hal tersebut sangatlah penting untuk diwarisi, karena hal ini adalah aset kebudayaan daerah, sementara jika alas an yang mengetakan bahwa ritual tersebut ateis,  pendeta ini kurang bersetuju, karena ia menganggap kebudayaan dengan agama itu harus dibedakan, kegiatan seperti ini adalah bagian dari adat yang diwariskan  oleh leluhur kita dan akan menjadi sebuah kebanggaan.
            Dan memang jika kita sebagai umat beragama selalu memandang agama sebagai basis ilmu pengetahuan, maka relasi dengan keprcayaan lokal akan bisa berjalan beriringan tampa harus terjadi tawar menawar, maksudnya agama modern tidaklah selalu beranggapan bahwa kepercayaan lokal ini harus  di integrasikan dengan agama-agama modern, karena dianggap animisme.  Sementara dalam masyrakat yang sudah memeluk agama kristen, islam, bukan berarti harus meninggalkan nilai warisan kepercayaan lokal. Karena menurut penulis, jika kita tetap mempertahankan warisan tersebut, bukan berarti nilai, dalam agama kita akan bergeser, dan sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran agama, selagi kita umat beragama bisa membedakan mana yang masuk dalam etika ajaran agama, dan ajaran lokal, dalam perspektif adat, budaya.
            Saatnya kita mendoktrin diri sendiri dalam perspektif kepercayaan, bahwa bagaiman pun juga yang disebut agama adalah bagian dari budaya, yang juga berasal dari gagasan manusia. Jadi tidak sepantasnya kita mengklaim bahwa kepercayaan inilah yang paling benar, tetapi bagaiman kita membentuk kesadaran relegius, untuk bisa memadukan kepercayaan yang berbeda, untuk bisa membangun relasi yang damai dalam kehidupan bersama. Damai adalah impian semua mahluk di bumi dan akan menjadi bukti bahwa itulah kualitas hidup manusia yang sesungguhnya sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Wednesday 8 June 2011

MANUSIA SEBAGAI PELAKU UTAMA BAGI PERUBAHAN ALAM

Tindakan Manusia dalam Memperlakukan Alam
Pembahasan
Apakah kita pernah merenungi kembali tentang keberadaan kita saat ini? Kita sebagai manusia hidup di atas Bumi mulai dari lahir, kecil, beranjak dewasa, sampai kita meninggal. Ketika kita merenungi betapa besarnya kahidupa yang didapatkan dari bumi, maka kita akan selalu merasa bahwa betapa besarnya hutang manusia terhadap Bumi. Namun hal itu nampaknya tidak menjadi bahan renungan bagi kita, tetapi justru manusia hanya mengikuti egonya yang hanya menganggap alam sebagai sebuah objek yang siap pakai, dan hanya bisa dieksploitasi kapan saja tampa memberikan kontribusi yang mungkin bisa terus menjaga kestabilan alam agar tetap bisa menadi pengerak kehidupan di muka bumi ini.
Masalah ekologi sudah seharusnya diberikan perhatian yang serius mengingat berbagai kerusakan terhadapnya sudah mencapai tingkat yang begitu mengkhawatirkan. Dari tahun ke tahun kerusakan dan kekerasan terhadap ekologi bukannya menurun, malah semakin meningkat secara drastis. Kebakaran, penebangan hutan, penambangan dan pabrik kimia, pencemaran air, polusi udara, dan masih banyak yang lainnya, mungkin merupakan fenomena yang umum terjadi di Indonesia.
Tindakan-tindakan manusia terhadapa alam yang hampir tak terkendalikan inilah yang menjadi pemicu utama terhadap peristiwa-peristiwa alam di belahan dunia ini yang akhirnya juga mengancam kelangsungan hidup alam dan manusia itu sendiri, misalkan semakin besarnya tingkat terjadinya bencana alam seperti tanah longsor banjir, kekeringan,yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, yang sering menelan korban jiwa yang cukup banyak. Masalah inilah yang terus menjadi persoalan besar di dunia ini termasuk di Indonesia. Jika di tanya factor dari semua ini jawabanya bisa bervariasi;
Pertama, pemahaman manusia terhadap alam dan lingkungan adalah keliru. Anggapan bahwa alam beserta isinya diciptakan untuk manusia, dan manusia sebagai pusat penciptaan hampir didukung oleh berbagai agama di dunia dengan berbagai variannya. Misalnya, antroposentrisme (paham yang menganggap manusia sebagai pusat dan puncak segala ciptaan, paham inilah di pakai pakai sebagai legitimasi teologis atas pelimpahan wewenang dari Tuhan kepada manusia untuk menundukkan dan mengeksploitasi alam secara semena-mena demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kedua, perilaku negatif manusia yang memiliki kecenderungan untuk mengeksploitasi alam beserta isinya demi kepentingan dirinya dengan menggunakan media sains dan teknologi tanpa mempedulikan hak-hak alam. dalam diri manusia terdapat kecenderungan dan keinginan untuk berkuasa dan mendominasi (will to power), tidak hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam. Persoalan lingkungan pada dasarnya merupakan persoalan moral sehingga penanganannya pun harus melibatkan pertama-tama, perubahan paradigma terhadap alam dan lingkungan, kemudian melakukan tindakan afirmatif untuk mengembangkan sikap bersahabat dan berbuat baik kepada alam
Pertanyaan di atas juga ini bisa didasarkan atas kondisi ‘ekonomi’ dan ‘kepentingan’ manusia. Kemungkinan jawaban yang akan di lontarkan beberapa orang adalah, bahwa karena desakan ekonomi yang semakin mengancam kehidupanya, sehingga pilihan yang di ambil adalah misalkan memanfaatkan alam dengan melakukan pembalaka liar untuk bisa menghasilkan uang, dan sering juga melakukan pembakaran hutan untuk membuka lahan pertanian seperti berkebun, untuk tetap bisa menghasilkan pangan, untuk tetap bertahan hidup. Dan jawaban yang kedua karena kepentingan, hal ini penulis lebih ke pengunaan tehknologi seperti pembangunan pabrik di tengah pemukiman yang populasi penduduknya padat yang mungkin menumbulkan polusi yang akhirnya bisa mengancam kesehatan, dan juga pencemaran lingkungan seperti limbah dari pabrik yang berlebihan, karena hanya ingin memperoleh keuntungan perusahaanya, walaupun sangat mengancam kehidupan mahluk hidup.
Paradigma, Antroposentrisme
            Di dalam lingkungan hidup, di prioritaskan campur tangan manusia  terhadap tatanan ekosistem. Perlu diketahui bahwa lingkungan hidup adalah sistem yang merupakan kesatuan, ruang dengan semua benda, daya, keadaan,  mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang menetukan perikehidupan serta kesejahteraan manusia dan mahluk hidup lainya.
Manusia di dalam alam menyatakan, bahwa bagi manusia alam merupakan suatu “barang jadi” yang tinggal diterimah saja oleh manusia sebagai barang jadi, alam adalah alam yang bersifat tertata sebagai ciptaan khalik. Dilihat dari posisi dalam alam, manusia adalh posisi yang teranyam di dalam sistem tatawi. Itu berarti, alam yang tatawi, adalah gelanggang bagi manusia untuk bereksistensi, untuk meerealisasikan eksistensinya. Keteranyaman manusia dalam arti yang demikian itu membawa konsekuensi sekalipun mempunyai kebebasan untuk enciptakan kehidupan, di dalam menciptakan kehidupan manusia tertuntut untuk menghormati ketatawian alam. Namun dengan bersandar dengan pandangan ini yang lebih ke pemahaman antroposentris, justru membentuk ke serakahan manusia dalam memanfaatkan alam.
            Dalam hubunganya dengan paham antroposentrisme, sifat manusia semakin terdorong dalam memberikan sentuhan yang memikat bagi keberlangsungan alam, di mana dalam paham ini mengngap bahwa manusia sebagai pusat dari alam. Paham  ini semkin berkembang dipelosok dunia, dan dipraktekkan berbagai macam komunitas, baik komunitas petani, sektor ekonomi, industri dan yang lainya semuanya memberikan efek yang tak sepantasnya di terimah oleh alam. Ironisnya dalam beberapa dekade terakhir ini bisa kita amati berbagai macam fenomena alam yang terjadi, seperti banjir, semakin panasnya suhu undara, pencemaran lingkungan, tetapi seolah-olah manusi sebagai pelaku dalam merespon alam dengan berbagai tindakan, mulai dari tindakan  yang tak bertanggung jawab, seperti pembalakan liar pembangunan yang tidak tertata rapi, sepertinya menggambarkan tidak terjadi apa-apa. Buktinya ditengah ancaman-ancaman keganasan alam, manusia masi saja tak peduli dan terus melakukan tindakan yang tak bertanggung jawab terhadap alam.
            Posisi manusi di atas bumi adalah merupakan penyebab utama terjadinya berbagai perubahan alam. Dalam sudut pandang filafat juga dikatakan, bahwa manusia satu-satunya dutuntut bertanggung jawab atas kelestarian lingkungan hidup di mana ia berada di dalamnya, karena manusia merupakan satu-satunya mahluk hidup yang diberi kebebasan untuk menguasai, mengelolah dan memanfaatkan alam dalam mewujudkan kebebsan menciptakan kehidupanya. Untuk itu manusia juga dikaruniai akal budi sehingga manusia dapat mewujudkan posisinya di atas alam, di samping harus mengingat bahwa manusia juga tetap mempunyai posisi terikat alam karena manusia tak dapat hidup mandiri tampa alam yang merupakan tempat dan sumber perlengkapan dalam menciptakan kehidupanya
Manusia dalam Hubunganya dengan Alam
            Dalam dasar-dasar ekologi yang digunakan sebagai sentral antara hubungan timbal balik manusia dengan alam, yang merupakan konsep dasarnya adalah, “ di mana pun manusia berada tidak akan bisa hidup manidiri tentunya ia kan selalu membutuhkan interaksi dengan mahluk hidup lainya yang ada di bumi”  karena itu sebagai manusia yang bertanggung jawab, di dalam mewujudkan kebebasan untuk vmenciptakan kehidupanya maka perlu memperhatikan dan memperdulikan tatanan alam.
            Dalam berinteraksi dengan alam manusia dengan segala tindakanya dapat mewujudkan berbagai pengaruh terhada alam, yang secara garis besar dikategorikan dalam tiga hal
1.      Merusak alam (deterioratif)
2.      Melestarikan alam
3.      Memperbaiki alam
Sebagai manusia yang diberikan kebebesan untuk menciptakan kehidupanya secara bertanggung jawab maka arah yang hendak dicapai adalah memperbaiki alam agar alam selalu mampu menopang kehidupan manusia. Segala perbuatan manusia hendaknya memberi makna pada alam sehingga alam lebih bermakna bagi kehidupan manusia.
            Keadaaan planet bumi yang merupakan tempat tinggal manusia, yang saat ini sedang memburuk; telah menjadi pusat perhatian dunia.  Jika kita sring mengamati siaran TV berita koran radio, selalu saja menyajikan berita tentang tekanan yang berkenan dengan lingkunga. Baik itu tentang  permasalahan  pangan, energi, kemingkinan terjadi pemanasan global, penipisan lapisan ozon, ledakan penduduk, banjir, kerusakan hutan,  erosi plasma dan sebagainya. Kalau manusia  menempuh jalan yang bersufat deterioratif maka keadaan itu boleh dikatakan sangat menggelisakan. Sudah seharusnya manusia membenahi perilakunya mulai sekarang.          
            Relasi eksistensial manusia dengan alam yang demikian itu menempatkan manusia di dalam keterikatan pada alam yang  tak terhindar. Dan dengan mendasarkan diri pada pengertian bahwa di dalam keterkaitan itu manusia harus mengelolah alam, kita dapat menyebut situasi eksistensi terhadap alam itu dengan istilah teksnis situasi eksistensi. Dari sini kita mengetahui bahwa pada manusia menciptakan dan mengelolah alam dan mengunakan alam. Seluruh usaha manusia untuk menciptakan dan menjalankan kehidupanya dengan menguasai dan mengelolah dan menggunakan alam itu dapat dengan istilah teknis, kita sebut “membudaya”. Dari sejarah manusia mungkin kita sudah mengetahui bahwa sejarah pembudayaan manusia berjalan melalui proses perkembangan maju, yang pertama dalam hal kesadaran manusia mengenai posisi dirinya bahwa dia di atas alam  (Transenden terhadap alam) dan harus menguasai, dan mengelolah alam, kedua. Penguasaan , pengelolaan dan penggunaan alam oleh manusia, ketiga, penciptaan kehidupan, dengan menekankan perkembangan atau kemajuan pengelolaan alam oleh manusia memang kita dapat menyebut proses itu kulturalisasi.
            Memang pada satu segi alam bagi manusia adalah barang jadi yang tatawi yang manusia tinggal terimah. Tetapi ketatawianwian alam itu tidak membuat alam menjadi sesuatu yang “statis” yang tak terubahkan oleh manusia, sebab pada segi yang lain, manusia adalah di atas alam menguasai alam, berusaha mengelolah alam untuk menopang kehidupanya. Sebagai sumber perlengkapan kehidupan manusia, alam justru menuntut manusia untuk menguasainya, dan mengunakanya, tetapi manusia juga harus memanusiawikan alam, dalam arti mengaktualisasikan potensi manusia, maka dengan demikian alam akan memberikan makna yang berartiv bagi kehidupan mausia, dan ctetap menopang semua mahluk hidup yang ada di atas muka bumi.
Catatan akhir penulis, adalah sudah saatnya kita membentuk terobosan baru dalam memperlakukan alam sebagaimana mestinya, tidak hanya manusia yang selalu mengeksploitasi isi alam tampa kontribusi timbal balik. Memang alam menuntut manusia untuk menguasainya, dan mempergunakanya dalam memenuhi kebutuhan hidup tetapi bukan berarti kekayaan alam hanya dapat dikuasai tampa ada aksi koaksi yang di bangun manusia dalam menyikapi kembali alam. Pilihan yang menurut penulis adalah menopang alam dengan basis ilmu pengetahuan.


Fandi Lo'