Tuesday 25 March 2014

GUBERNUR SUL-BAR TIDAK PRO RAKYAT


Konsep nation State tidak mungkin hancur dalam tempo yang lama. Yang perlu di jaga dan diwaspadai adalah agar nation-state dengan ideologi nasionalismenya jangan dijadikan berhala. Untuk indonesia secara teoritik “kemanusiaan yang adil dan beradab” adalah payung nasionalisme bangsa ini. Jadi ideal sekali, seklaipun dalam kenyataanya menempu jalan yang berbeda. Namun, para pemimpin negeri ini belum paham makna tersebut.

            Indonesia semestinya secara kultural lebih kokoh karena bangsa lahir sebagai negara, tetapi tidak demikian yang terjadi . saya melihat kelemahan terbesar terletak pada pemimpin. Sejak proklamasi kita telah mempunyai  pemimpin-pemimpin hebat, tetapi tidak efektif. Mereka gagal membangun bangsa ini secara berencana. Kita harus jujur bahwa bangsa indonesia bisa bertahan hingga hari ini terutama karena kedarmawanan alam. Sekalipun lautan kemisikinan  masi terbentang luas celakanya  adalah kenyataan bahwa bumi yang darmawan ini menjumpai manusia-manusia yang sering lupa daratan lupa lautan. Orang baik masi banyak kita jumpai, tetapi tidak berada dalam posisi untuk bertindak efektif, kekuatan orang baik inilah yang harus di galang untuk tujuan-tujuan besar menyelamatkan masa depan bangsa.

            Nasib buruk inilah yang di alami beberapa daerah di indonesia termasuk Sul-Bar,  sebuah propinsi hasil pemekaran dari sul- sel pada tanggal 5 oktober 2004, terhitung sudah 14 tahun menjadi propinsi tetapi daerah yang bernaung di dalamnya masi banyak yang tak berdaya, berdasrakan data yang ,di himpun oleh KPDT sulbar di temukan masi ada 4 kabupaten yang masi tertinggal di antaranya adalah Mamuju, Majene, Mamasa, Polewali mandar (Polman), dan Mamuju Utara. Kendala terbesar yang di alami oleh beberapa daerah di sulbar adalah SDM yang masi rendah, infrastruktur, ekonomi, dan juga aspek budaya seperti kesenian masyarkatnya tidak dibina maka tidak heran beberapa kesenian daerah mulai hilang karena tidak diberdayakan. Nasib ketertinggalan beberapa daerah di Sul-bar menuai banyak protes yang juga beragam dari berbagai kalangan. Jika dilihat secara geografis sulbar adalah daerah yang cukup kaya, dan kemungkinanya untuk setara dengan Sulawesi Selatan sangat besar. Hal penulis katakan karena masing daerah di sulbar memiliki potensi yang berbeda dan juga masing menjanjikan. Mislkan di mamuju kebun kelapa sawit cokelat, kelapa, adalah kekayaan yang sangat memungkinakan memajukan perekonomian masyarakat. Majene polewali juga di jumpai hasil pertanian warga yang bergerak di bidang pertanian seperti sawa, dan perkebunan dan juga hasil laut yang cukup melimpah, Mamasa di daerah ini adalah daerah pegunungan yang sangat subur dan alamnya yang masi homogen, di daerah mamasa masyarakatnya lebih bergerak pada sektor pertanian, perkebunan, dan juga hasil hutan seperti rotan dan kayu untuk bahan bangunan dan juga menwarkan banyak objek wisata yang cukup memukau, sayangnya potensi yang di miliki beberapa daerah ini tidak diperhatikan secara serius oleh pemerintah sehingga daerah-daerah ini masi sangat tertinggal.

            Namun faktanya tidak serupa yang di jumpai pada masyarakat, kemiskinan dan ketertinggalanlah yang lebih nampak di daerah ini. Tidak ada masyarakat yang menolak perubahan ke arah yang lebih baik, dan tak ada kebaikan yang tertutup dengan perubahan, melainkan hal ini sinkron yang mestinya dirasakan oleh masyarakat. Oleh karena fakta yang memaksa masyarakat untuk harus geram apatis, dan bahkan seolah-olah menyerah dengan keadaan, tak lain kekesalan ini ditujukan kepada orang yang pernah dipilihnya menjadi seorang pemimpin.

            Kritik demi kritik yang terus dikumandangkan seolah-olah sedang berbicara pada si tuli, bibir serasa sudah kehabisan kata-kata namun tak satu pun respon yang mereka berikan. Saat ini situasi mulai memanas di kabupaten Mamasa sebagian besar jejaring sosial yang dijadikan sebagai media diskusi orang mamasa yang menjadi ternding topic adalah seputar kegagalam pemerintah daerah dan pemerintah propinsi, yang dinilai tidak mampu menjalnkan tugasnya sesuai dengan yang di amanatkan oleh rakyata mamasa. Tak hanya di media sosial di beberapa kecamatan juga membicarakan topik yang sama. Bahkan akhir-akhir ini beberapa media sosial yang bergerak di bidang pers memberitakan bahwa Mamasa ingin bersatu kembali dengan Propinsi Sulawesi Selatan ketimbang beranaung di bawa pemerintah sul-bar yang hanya di jadikan sebagai bagian yang bersyarat, tapi tidak diperhatikan kemajuan daerahnya. Berita ini semakin dibenarkan dengan isu infrastruktur jalan yang menghubungkan antar Mamasa dan kota-kota lainya seperti polewali hingga tembus makasar yang hingga kini tak ada perubahan yang signifikan, dan memang penulis pun mengakui jika itu disebut jalan utama sangat tidak tepat jika di lihat bentuk fisiknya. Lalu apa curhat seorang gubernur bupati dan aparatur  pemerintah lainya jika melintas di jalan yang tidak layak dilalui kendaraan  ini. Ataukah mereka memerintah di luar kesadaran.?


Wahai pak Gubernur dan Pak Bupati, jangan menjadikan kemiskinan yang menghabiskan semangat kami, jangan jadikan pemberontakan sebagai hiburan, kami tau di kota Mamasa yang kami cintai ini jarang hiburan namun bukan berarti anarkisme yang dikemas dalam demonstrasi sebagai hiburan yang kalian sajikan kepada kami. Kami tau kami tak punya kapasitas untuk maju oleh karenanya kami membutuhkan pemimpin yang siap memacu kekurangan kami sehingga kelemahan kami menjadi kekuatan, Pak Gubernur dan Pak Bupati yang kami hormati andaikan bukan kedarmawanan alam yang kuat menopang daerah yang anda pimpin mungkin daerah ini akan  menjadi sarang kemiskinan, sarang keterbelakangan. Mamasa, ada hingga hari ini itu karena tuntunan alam yang setia. Ingat alam tiadak akan berbicara bahwa mereka butuh campur tangan manusia, maka jangn tunggu alam berbicara baru bapak bergerak menyelamatkan rakyat mamasa. Rakyat tidak mengenang janji namun mereka mengenang implementai dari janji yang anda telah katakan saat anda menyatakan siap untuk di berikanan amanat oleh sang pemilik demokrasi yaitu rakyat.

Potret Perempuan dalam Iklan


Perempuan sesungguhnya bukan hanya menghadapi musuh lama (laki-laki), tetapimusuh baru yang lebih perkasa, yakni kapitalisme. Laki-laki bahkan telah dimanfaatkan oleh kapitalisme untuk bersama-sama  melestarikan struktur hubungan gender yang timpang. Pelestarian ketimpangan hubungan itu tidak hanya menyebabkan perempuan semakin tersubordinasi, tetapi juga menyebabkan terjadinya subordinasi perempuan oleh perempuan sendiri. Hal ini nampak dala posisi yang ditempati perempuan dalam iklandi mana di satu sisi perempuan merupakan alat persuasi di dalam menegaskan citra sebuah produkdan sisi lain perempuan perempuan merupakan konsumen yang mengkonsumsi produk kapitalisme.  

                Iklan sebagai ruang gerak baru bagi perempuan telah memungkinkan perempuanuntuk mengespresikan dan mengaktualisasikan diri. Keseluruhan konsep perempuan kemudian mengalami transformasi dan perempuansebagai orang yang terliabat dalam kegiatan domestik,sebagai pekerja keluarga, atau sebagai masyarakat second clas menjadi perempuan yang lebih otonom dan penuh kebebasan. Dunia iklan bagi perem.puan telah menjadi basis  politik emansipasi, dalam usaha perempuan keluar dari ikatan=-ikatan tradisional dan masa lalu. Namun demikian, dunia iklan berorientasi pada kelompok tertentu sehingga kelompok (perempuan) yang tidak memiliki akses mengalami subordinasi. Keberadaan perempuan dalam iklan ini sesungguhnya juga menggelisahkan perempuan lain, karena produk yang ditawarkan oleh sebuah iklan telah membangkitkan fantasi begitu banyak perempuan lain terhadap produk mengingat perempuan merupakan kelompok pembelanja terbesar

Kehadiran perempuan dalam iklan juga telah mentransformasikan tatanan kehidupan secara meluas; nilai tentang gaya dan cara berpakaian yang lebih bervariasi, seperti nilai sexi-ness  dari sebuah pakaian yang diiklankan; nilai humbungan laki-0laki dan perempuan yang lebih terbuka (sseperti yang tampak dalam berbagai iklan penyegar mulut dan alat kebugaran) atau nikai kemewahan dalam gaya hidup (seperti hadirnya berbagai perangkat modernitas, dari mobil, handphone, hingga perhiasan-perhiasan) yang semua itu menegaskan nilai autentik kehadiran seseorang. Implikasi tersebut muncul berkaitan dengan kecenderungan iklan memotret aspek tertentu dari perempuan, yakni bentuk tubuh, keindahanya, dan kesegaran tubuh. Selain merupakan faktor pernting dalam seleksi sosial, keterlibatan perempuan dalam periklanan juga menjadi faktor dominan dalam sosialisasi nilai, khusunya nilai tentang “keperempuanan” bahkan debora lupton beranggapan bahwa iklan-iklan pada dasarnya menggunakan tubuh perempuan untuk membangkitkan daya tarik erotik terhadap produk (lupton, 1994).

                Keberadaan perempuan seperti yang terlihat dalam iklan tampaknya ditentukan oleh serangkaian hubungan rumit. Tubuh yang merupakan bagian yang paling private dari seseorang perempuan telah menjadi milik publik yang tampak dari cara tubuh perempuan di tampilkan. Iklan yang menonjolkan bentuk penampilan, dan keindahan tubuh di tayangkan ke rumah-rumah dan berbagai tempat publik di mana proses beleajar berlangsung. Dari fenomena tersebut yang menjadi menarik adlah proses ini tidak menyebabkan terbentuknya potret perempuan yang baru, tetapi lebih merupakan “penegasan kembali” potret lama di mana perempuan merupakan objek seks. Seksisme akhirnya semakin menguat.

                Di sini memang terjadi pergeseran dalam menampilkan image perempuan dari objek seks ke sifa glamor dan kebebasan, namun ini lebih disebabkan oleh kepenltingan produk di mana difat perempuan yang ditampilkan di sesuaikan dengan produk oyang ingin di iklankan, bukan usaha langsung untuk memotret kebebasan dan kemampuan perempuan. Oleh karena itu menurut penulis  iklan menjadi penghambat dalam perkembangan peran perempuan, khusunya karena ia melestarikan citra perempuan sebagai objek seks, ibu dan istri yang baik, atau orang yang melayani.

                Selain iklan fenomen tersebut juga dapat ditemukan di beberapa film yang diluncurikan akhir-akhir ini, seperti  misalkan filim yang bernuansa horor, sebagian besar film-film indonesia yang horor menampilkan para perempuan yang berpenampilan vulgar, maka yang menjadi pusat hiburan sesungguhnya adalah bukan pada karakter yang ingin disampaikan lewat film melainkan mediasi tubuh yang di tampilakan pemeran perempuanya, padahal jika di pikir secara logika, korelasi antara horor dan penampilan seksi sesungguhnya sangat jauh. Penempatan  laki-laki sebagai “subjek”  dan perempuan sebagai “objek” merupakan pemosisian yang dilestarikan dalam berbagai bentuk wacana. Wacana yang dibangun oleh artis sendiri menarik untuk disimak karena memperlihatkan baaimana perspektif “designe”. 

                Proses dominasi kapaitalisme membuatr saya sangat tertarik melihat fenomena tersebut dengan mengunakan pendekatan dari pemikian Foucault sebagai the death of the subject, dalam hal ini perempuan sebagai subjek telah mati, di mana ia tidak lagi dapat mengendalikan dirinya sendiri, tetapi telah dikendalikan  oleh ideologi dan kepentingan pasar, aktivitas konsumsi menjadi panglima kehidupan. Dan perempuan sesungguhnya merupakan produk dari kehidupan sosial tersebut sehingga ia tersubordinasi oleh kepentingan-kepentingan dan harapan-harapanumum yang ingin melihat perempuan sebagai objek. Oleh karena itu ketika kita aberbicara tentang kekerasan terhadap perempuan, maka bukanlah pemukulan, perkosaan, atau beban fisik yang dialami perempuan yang perlu dipperhatian. Keseluruhan wacana publik yang dibagnun oleh berbagai agen sosial adalah kekuatan dhsyat yang melahirkan berbagai bentuk kekerasan itu karena ia telah membangun sebuah dunia yang gelap di mana hantu-hantu (laki-laki dan permpuan) saip memangsa perempuan.

Referensi
1996 “Seks Gender dan reproduksi Kekuasaan” Agus Dwiyanto
2008 “Feminist Thought” Rosemarie Putnam Tong”

2000 “Perempuan dalam Wacana Perkosaan” Eko Prasetyo & Suparman Marzuni

Hegemoni Senior dalam Kegiatan Ospek


Kasus kekerasan yang dilakukan sekumpulan mahasiswa yang tergabung dalam tim ospek atau yang di sering di sapa senior angkatan, menjadi momok yang Nampak menakutkan bagi beberapa siswa yang baru lulus dari banguku SMA. Tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap adik-adik junior sangat beragam, mulai dari kekerasan fisik, mental bahkan ada yang sudah mengarah pada tindakan asusila. tiga bulan yang lalu kultur pendidikan kembali tercoreng dengan menyebarnya berita yang memilukan yang datang dari seorang mahasiswa baru di Surabaya, di mana mahasiswa tersebut bernama Fikri asal NTT  meninggal dunia akibat beberapa tindakan kekerasan yang menimpa dirinya pada saat ospek dilakukan oleh senior dari kampus ITN. Kejadian tersebut semakin memanas ketika beberapa foto yang berhasil di kumpulkan terlihat tindakan-tindakan senior yang memperlakukan gaya-gaya erotis terhadap maba perempuan dan juga kekerasan fisik. Bahkan menurut media yang meliput ada juga yang disuru oral dengan mengunakan buah wortel yang menyerupa alat kelamin pria, sungguh tindakan yang sangat memalukan yang dilakukan oleh kaum-kaum yang dikatakn orang yang sedang mengemban pendidikan.

                Senior dalam kultur akademik tidak lagi menjadi sebuah sapaan atas yang lebih di anggap tua dan di hargai, sebagaimana dalam kultur masing-masing daerah yang di luar dari bangku pendidikan  juga sering di di terapkan bahwa bagaimana kita menghargai yang lebih tua. Namun akhir-akhir ini  senior  di maknai menjadi sesuatu yang tinggi dan dominan dalam lingkungan kampus dan juga menjadi sebuah identitas baru bagi mahasiswa-mahasiswa senior untuk berbuat seenak perutnya terhadap mahasiswa baru. Beberapa tindakan-tindakan yang merusak citra pendidikan yang dilakukan oleh beberapa pelajar-pelajar ini menjadi trauma tersendiri bagi anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikanya, dan ini terus di warisi setiap pergantian taun ajaran, jika mereka sebelumnya saat di ospek di sajikan dengan tindakan-tindakan yang kasar dan juga keras, maka mereka pun akan melakukan hal yang sama terhadap yang baru masuk dan inilah yang mungkin saya sebut ajang balas dendam.

                Meskipun sebelumnya hal itu penulis sudah smenyadari tentang beberapa kekerasan ospek dalam perguruan tinggi, tapi penulis tetap  berprinsip bahwa saya akan menolak dan memutuskan tidak kuliah di kampus manapun jika kampus tersebut menyajikan ospek yang mengutamakan ospek fisik, namun beruntung saya berhasil masuk di salah satu universitas swasta di Jawa tengah yang menyajikan ospek yang di luar yang saya tidak inginkan. Ospek yang saya dapatkan justru menjadi semangat baru saya  dalam mengembangkan potensi yang saya ingin kembangkan dalam pendidikan saya karena ospeknya menyentuh  pada aspek sosialisasi, seperti bersih-bersi kampung dan juga perkenalan bagi warga, pembinaan yang meskipun di lakukan di lapangan yang diselimuti terik matahari tapi tidak apa –apa yang penting kepala terisi karena memang ospek demikianlah yang sekiranya menyentuh di aras pendidikan. Dan di kampus yang ini juga sangat jarang mengunakan kata senior dan junior melainkan sapaan yang lebih akrab yaitu “Kak untuk yang senior sapaan  dek untuk yang masi junior” , kata ini sesungguhnya sama saja namun terkdang beberapa orang yang keliru memakni tentang senior ketika identitas ini dilekatkan kepad sesorang.

                Namun bukan berarti karena di kampus penulis kata ‘senior dan “junior” jarang digunakan akhirnya saya mengkritisi, tetapi karena saya menilai secara pribadi kata tersebut Nampak tidak etis dalam lembaga pendidikan. Dalam padangan penulis selain dalam ospek  dengan mengunakan kata senior ini sering kali mengungkung kemampuan bagi yang junior  dalam berbicara oleh karena yang senior selalu diposisikan sebagai yang tertinggi dan bahkan bisa jadi mengkalim dirinya yang selalu benar, sementara dalam lembaga pendidikan yang di utamakan adalah produktifitas berpikir, bukan sebuah identitas yang tidak jelas. Mungkin agak hiperbola jika saya katakana ini adalah ‘kasta’ yang dibangun oleh kultur pendidikan, tetapi memang nyatanya seperti demikian yang terjadi, faktalah yang meringankan penulis untuk berbicara demikian. Sangatlah tidak bijak jika ospek dalam lembaga pendidikan melampau ospek-ospek yng di gunakn oleh orang-orang militer saat pendidikan, jika militer menerapkan hal demikian tidaklah mengherankan karena memang itu adalah persyaratan untuk menguji stamina fisik dan juga mental. Tapi apa jadinya jika model tersebut di terapkan dalam lembaga pendidikan seperti kampus, ini sama sekali tidak sinkron dengan apa yang dicita-citakan lembaga pendidikan. Dalam penyelenggaran ospek yang dilakukan oleh senior mahsiswa yang tidak sesuai dengan syarat lembaga pendidikan misalkan di suruh lari di lapangan yang kapasitanya sebesar lapangan bola, dan itu dilakukan beberapa kali dan kecenderungan itu dilakuka di matahari yang panas, dan tidak disediakan air minum, lalu sisi apa yang di kemabangkan jika di korelasikan dengan pendidikan?,di botakin semabari di perintahkan oleh seniornya untuk pusap, lari, minum air di gelas kemudian di join ke beberap peserta ospek? Ada kaitan tidak dengan pendidikan ?, dan bayangkan jik hl ini terus di kembangkn dri genersi-ke generasi dan mengkar dalam kultur pendidikn kita maka berhenti kita bicara tentang pendidikan yang berbasis pengembangan pemikiran yang lebih maju.

Kasus kekerasan yang dilakukan sekumpulan mahasiswa yang tergabung dalam tim ospek atau yang di sering di sapa senior angkatan, menjadi momok yang Nampak menakutkan bagi beberapa siswa yang baru lulus dari banguku SMA. Tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap adik-adik junior sangat beragam, mulai dari kekerasan fisik, mental bahkan ada yang sudah mengarah pada tindakan asusila. tiga bulan yang lalu kultur pendidikan kembali tercoreng dengan menyebarnya berita yang memilukan yang datang dari seorang mahasiswa baru di Surabaya, di mana mahasiswa tersebut bernama Fikri asal NTT  meninggal dunia akibat beberapa tindakan kekerasan yang menimpa dirinya pada saat ospek dilakukan oleh senior dari kampus ITN. Kejadian tersebut semakin memanas ketika beberapa foto yang berhasil di kumpulkan terlihat tindakan-tindakan senior yang memperlakukan gaya-gaya erotis terhadap maba perempuan dan juga kekerasan fisik. Bahkan menurut media yang meliput ada juga yang disuru oral dengan mengunakan buah wortel yang menyerupa alat kelamin pria, sungguh tindakan yang sangat memalukan yang dilakukan oleh kaum-kaum yang dikatakn orang yang sedang mengemban pendidikan.

                Senior dalam kultur akademik tidak lagi menjadi sebuah sapaan atas yang lebih di anggap tua dan di hargai, sebagaimana dalam kultur masing-masing daerah yang di luar dari bangku pendidikan  juga sering di di terapkan bahwa bagaimana kita menghargai yang lebih tua. Namun akhir-akhir ini  senior  di maknai menjadi sesuatu yang tinggi dan dominan dalam lingkungan kampus dan juga menjadi sebuah identitas baru bagi mahasiswa-mahasiswa senior untuk berbuat seenak perutnya terhadap mahasiswa baru. Beberapa tindakan-tindakan yang merusak citra pendidikan yang dilakukan oleh beberapa pelajar-pelajar ini menjadi trauma tersendiri bagi anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikanya, dan ini terus di warisi setiap pergantian taun ajaran, jika mereka sebelumnya saat di ospek di sajikan dengan tindakan-tindakan yang kasar dan juga keras, maka mereka pun akan melakukan hal yang sama terhadap yang baru masuk dan inilah yang mungkin saya sebut ajang balas dendam.

                Meskipun sebelumnya hal itu penulis sudah smenyadari tentang beberapa kekerasan ospek dalam perguruan tinggi, tapi penulis tetap  berprinsip bahwa saya akan menolak dan memutuskan tidak kuliah di kampus manapun jika kampus tersebut menyajikan ospek yang mengutamakan ospek fisik, namun beruntung saya berhasil masuk di salah satu universitas swasta di Jawa tengah yang menyajikan ospek yang di luar yang saya tidak inginkan. Ospek yang saya dapatkan justru menjadi semangat baru saya  dalam mengembangkan potensi yang saya ingin kembangkan dalam pendidikan saya karena ospeknya menyentuh  pada aspek sosialisasi, seperti bersih-bersi kampung dan juga perkenalan bagi warga, pembinaan yang meskipun di lakukan di lapangan yang diselimuti terik matahari tapi tidak apa –apa yang penting kepala terisi karena memang ospek demikianlah yang sekiranya menyentuh di aras pendidikan. Dan di kampus yang ini juga sangat jarang mengunakan kata senior dan junior melainkan sapaan yang lebih akrab yaitu “Kak untuk yang senior sapaan  dek untuk yang masi junior” , kata ini sesungguhnya sama saja namun terkdang beberapa orang yang keliru memakni tentang senior ketika identitas ini dilekatkan kepad sesorang.


                Namun bukan berarti karena di kampus penulis kata ‘senior dan “junior” jarang digunakan akhirnya saya mengkritisi, tetapi karena saya menilai secara pribadi kata tersebut Nampak tidak etis dalam lembaga pendidikan. Dalam padangan penulis selain dalam ospek  dengan mengunakan kata senior ini sering kali mengungkung kemampuan bagi yang junior  dalam berbicara oleh karena yang senior selalu diposisikan sebagai yang tertinggi dan bahkan bisa jadi mengkalim dirinya yang selalu benar, sementara dalam lembaga pendidikan yang di utamakan adalah produktifitas berpikir, bukan sebuah identitas yang tidak jelas. Mungkin agak hiperbola jika saya katakana ini adalah ‘kasta’ yang dibangun oleh kultur pendidikan, tetapi memang nyatanya seperti demikian yang terjadi, faktalah yang meringankan penulis untuk berbicara demikian. Sangatlah tidak bijak jika ospek dalam lembaga pendidikan melampau ospek-ospek yng di gunakn oleh orang-orang militer saat pendidikan, jika militer menerapkan hal demikian tidaklah mengherankan karena memang itu adalah persyaratan untuk menguji stamina fisik dan juga mental. Tapi apa jadinya jika model tersebut di terapkan dalam lembaga pendidikan seperti kampus, ini sama sekali tidak sinkron dengan apa yang dicita-citakan lembaga pendidikan. Dalam penyelenggaran ospek yang dilakukan oleh senior mahsiswa yang tidak sesuai dengan syarat lembaga pendidikan misalkan di suruh lari di lapangan yang kapasitanya sebesar lapangan bola, dan itu dilakukan beberapa kali dan kecenderungan itu dilakuka di matahari yang panas, dan tidak disediakan air minum, lalu sisi apa yang di kemabangkan jika di korelasikan dengan pendidikan?,di botakin semabari di perintahkan oleh seniornya untuk pusap, lari, minum air di gelas kemudian di join ke beberap peserta ospek? Ada kaitan tidak dengan pendidikan ?, dan bayangkan jik hl ini terus di kembangkn dri genersi-ke generasi dan mengkar dalam kultur pendidikn kita maka berhenti kita bicara tentang pendidikan yang berbasis pengembangan pemikiran yang lebih maju.