Tuesday 12 November 2013

KEARIFAN LOKAL ORANG MAMASA


Anak kecil yg lgi bakar kue



Bicara sola masyarakat berarti menunjuk pada sekumpulan manusia sedangkan bicara soal kearifan berarti menunjuk pada pola perilaku yang khas dalam masyarakat. Kearifan adalah sebuah kebiasaan dalam sebuah daerah yang itu mencirikan tentang praktek kehidupan masyarakatnya, ia dikatakan arif ketika nilai-nilai kebiasaan it terus dilakukan secara berulang-ulang dan itu melekat pada pelapisan social masyarakatnya. Unsur kedaerah yang terpenting adalah karakter masyarakatnya, karakter ini dilihat secara keseluruhan dalam aspek  social.

         
Panen padi
     
 Suatu hari seorang teman mahasiswa yang dari lampung mengatakan bahwa gotong royong sesungguhnya saya tidak temukan di Jawa yang mana banyak orang bilang bahwa dijawalah gotong royong  benar-benar hidup, namun hal itu justru saya temukan benar di pulau Sulawesi  orang berpesta orang syukuran orang bikin rumah orang berduka adalah perbandingan yang sangat tepat dimana kita melihat symbol gotong royong di pula Sulawesi (tutur temanku). Pernyataan demikian mengingatkan saya pada daerahku yaitu Mamasa bahwa di mana pernyataan  teman saya di atas memang benar adanya, sebuah kearifan local yang paling kental di daerah kita adalah system gotong royong yang sangat tinggi, di saat kita panen padi di sawa misalkan,  kita melihat segerombolan orang yang datang untuk ikut memanen padi sang pemilik sawah tampa diminta harus datang atau membuat rumah atau acara lainya ini sudah tertanam dalam jiwa orang mamasa mungkin aku sebut sebagai “kesadaran local”.


                Seiring mengalirnya kritikan demi kritikan dari banyak masyarakat khususnya masyarakat awam terkait pembangunan di mamasa namun bagi penulis kearifan tidak akan disetarakan dengan dunia politik atau seputar iklim birokrasi di Mamasa,dalam pandangan penulis luhurnya nilai kelokalan lebih bisa menopang eksistensi daerah itu sendiri ketimbang menjadikan iklim politik sebagi asumsi dasar. Kedua hal ini sangat penting  untuk keberlangsungan pembangunan namun tentu harus bermartabat. Bicara soal kearifan local di Mamasa tidak hanya dengan icon gotong royong namun tutur kata, tata karama yang benar-benar diturunkan dari pemula-pemula peradaban “Kondo Sapata” itu juga berhasil diturunkan secara matang untuk Mamasa, hingga akhirnya ini menjadi budaya berkomunikasi bagi masyarakatnya sebuah nilai yang tak terukur yang diwariskan para leluhur kita. Saya teringat sebuah motto lembang kondo sapaa yang mengatakan “Moi tau sipoloan kayu ke mettamai tondok ke marupa tau  di angga toi”  yang artinya biarpun orang yang stengah berbadan kayu jika datang di kampung kita,  tapi berwajah manusia juga harus di anggap, motto ini benar-benar kaya makna dan semoga ini benar-benar terus melekat dalam kehidupan orang mamasa.

                Dalam diri penulis harus diakui bahwa warisan nilai tentang kearifan tersebut banyak mempengaruhi saya, dan bahkan nilai itu bisa mengkondisikan saya pada tempat yang berbeda, ada cirri kemamasaan saya yang terus terbawa ketika saya bergumul dengan orang lain, tidak dapat disangkal tentang nilai tersebut sebagai orang yang sadar akan hal ini mestinya bersyukur atas kearifan tersebut, nilai-nilai yang telah melekat sejak lama tidak dirubah oleh lingkungan yang baru ia tetap hidup, ini jugalah yang penulis sebut sebagai “keagungan tradisi”. Mengaku orang mamasa harus ada miniature tentang tradisi orang mamasa yang anda harus bawa, semoga anda jgua memiliki yang sama dengan penulis.

Merujuk pada karakter masyarakat mamasa yang peka akan tata karma dalam berbahasa, gotong royong yang kuat, tapi kok ini tidak terjadi dalam iklim perpolitikan yah? Pertanyaan ini mengkhari tulisan ini.               

Sunday 3 November 2013

Sulit Menemukan Keluhuran Politik di Negri ini

 
Sumber http://www.republika.co.id/
Bicara soal politik banyak masyarakat sudah menjadi apatis dengan iklim perpolitikan di Negeri ini itu karena keburukan citra yang diperanakan oleh beberapa Politisi itu alasanya citra Politik menjadi buruk di beberapa masyarakat. Untuk menelusuri kebenaran hipotesis ini terlalu mudah untuk ditelusuri dari atas sampai kebawa bangsa ini cukuplah referensi tentang buruknya cintra politik yang di perankan actor-aktor bangsa ini. hampir semua aspek social seperti, ekonomi social budaya, rumpun politik tampa prinsip ini berkembang biak seolah-olah menjadi sebuah kewajiban tampa memandang ia sedang memegang kendali yang luhur, di Indonesia realitas yang terkadang mengatakan kepada kita bahwa politik itu kotor, di dalamya terdapat KKN pemaksaan kepetingan jual beli suara bahkan sekalipun hukum di rupiakan, politik digambarkan sebagai alat yang tepat dalam pemenuhan hasrat dengan kesewenang-wenangan.

            Pendidikan tentang etika yang di mulai dari orang tua kemudian ke jenjang pendidikan dan lingkungan masyarakat menjadi tak bermakna saat sudah meraih posisi penting dalam sebuah masyarakat. Ini mungkin menurut analisis penulis salah satu teka teki tentang manusia, di mana manusia berproses begitu lama dalam membekali diri dengan harapan ia bisa menjadi baik dan bisa teranggap dalam sebuah komunitas ternyata hal demikian hanya  kebanyakan tejadi dimana ia baru memulai sebuah misi. Kekuasaan ketika menjadi sebuah tujuan utama tidaklah masalah dan itu dambaan bagi banyak orang namun kekuasaan mestinya dilihat  sebagai salah satu tanggung jawab social, melekatnya sebuah identitas kekuasaan dalam diri seseorang menjadi tanda di mana ia telah menjadi lider bagi orang yang “dikuasainya” kekuasaan bukan dimaknai sebagai tindakan kekuasaan yang agresif arogan  yang pada akhirnya memunculka keserakaaan terhadap sesuatu, jika hal ini terjadi maka hak orang lain sekalipun bisa di raih lewat kekuasaan tersebut.
            Matinya keluhuran Politik sebagian besar dimatikan oleh orang-orang yang menganggap dirinya paham betul tentang politik, politik jika dilihat cara kerjanya memang ia tak menginginkan pikiran netral ia tetap ingin lebih, kompetisinya sangat jelas bahwa bermain dalam iklim politik mestinya pandai dalam memainkan strategi. Ada anekdot juga yang mengatakan bahwa jika seorang anak diwaktu kecil ia menyenangi permainan mobil-mobilan atau  bongkar pasang berarti kelak ia sekolah masuknya di tehnik, seorang anak jika ia suka gambar corat coret tembok berarti sekolah nanti dimasukan ke sastra seni, namun jika anak suka mengambil uang orang tuanya dengan sembunyi maka tempatnya di politik hehehe hal ini semakin menciderai citra politik, penulis kurang paham betul bahwa apakah anekdot ini betul, dan apa pula kaitanya dengan politik? Sejauh ini belum ada survey tentang hal demikian, apakah memang politisi sebelum manggung memang sudah sering ‘nakal’ di saku ayah ibunya, sejauh ini yang penulis tau Gubernur hingga Presiden harus berbekal Surat Keterangan Kelakuan Baik dari Polres.
Dalam  literatur, kata “politik’ yang berasal dari bahasa Yunani mempunyai makna yang berkaitan dengan serba keteraturan, keindahan dan kesopanan bagi warga kota. Maka tugas utama polisi, kata yang serumpun dengan politik, adalah menjaga keteraturan dan keindahan kota (polis) sehingga prilaku polisi harus selalu santun (polite). Pada perspektif ketatanegaraan, keteraturan dan kesantunan hidup bersama itu dijaga dan diperjuangkan oleh para politisi. Begitu luhurnya ilmu dan misi politik, sehingga Aristoteles menyebutnya sebagai seni tertinggi untuk mewujudkan kebaikan bersama (commond and highest good) bagi seluruh Negara. Mengapa politik meruapakn ilmu yang paling mulia dan menempati kedudukan yang tertinggi? Karena menurut Aristoteles dalam Nicomachean Ethics, semua ilmu cabang yang lain di bawah kendali dan akan melayani implementasi ilmu politik guna menciptakan kehidupan sosial yang nyaman, teratur dan baik.
            Politik memang mengajarkan tentang bagaimana memperoleh kekuasaan namun politik juga mengajarkan bagaimana cara penggunaan kekuasaan yang etis. Kekuasaan enaknya adalah ia bisa digunakan dalam melakukan segalah hal termasuk menghalalkan segala cara untuk memnuhi hasrat pribadi, lalu bagaimana membangun politik yang beretika humanis, tidak menakutkan bersahabat. Untuk memunculkan ini semua tentunya dengan Politik yang punya ‘prinsip’ politik harus dilihat sebagai tanggung jawab (responsibility) dan amanah Tuhan dalam mengimplementasikan undang-undang, taat akan hukum mendengar aspirasi membantu yang lemah, dan juga bagaimana agar politik kekuasaan itu senantiasa direfleksikan bergandengan dengan dimensi kemanusiaa. jika kesadaran demikian  di tanamkan maka keluhuran politik akan dirasakan oleh manusia.

Friday 1 November 2013

Burung Garuda Mitos atau Fakta

Garuda

Selaku warga Negara Indonesia mendengar kata Garuda tentu mengerti bahwa itu adalah lambang NKRI, lalu pertanyaanya adalah burung garuda itu hanya fakta atau mitos? Di kalangan masyarakat pertanyaan tentang eksistensi burung garuda masi terus dipertanyakan  bahwa apakah spesies burung garuda memang ada, sama halnya dengan penulis masi juga terus bertanya-tanya tentang keberadaan burung yang menjadi lambang Negara indonesia.

            Ataukah spesies burung garuda ini pernah ada tapi sudah punah? Tapi jika itu pernah ada tentu peneliti-peneliti pernah menulis tentang burung tersebut apalagi dengan dijadikanya burung ini menjadi lambang Negara, tapi saya belum pernah menemukan buku yang benar-benar membahas secara mendalam tentang keberadaan burung garuda. Burung garuda jika dilihat secara fisik ada kemiripan dengan gambar burung yang dijadikan lambang kerjaan samudera pasai bahkan ada beberapa artikel yang mengatakan bahwa Indonesia meniru dari kerajaan samudra pasai. Dalam cerita Mahabarata burung Garuda digambarkan sebagai burung yang perkasa, setia kawan, dan berani. Burung Garuda adalah kendaraan Dewa Wisnu  ketika berkelana ke penjuru Bumi, menurut para ahli burung, garuda hanya digambarkan sebagai burung yang berjambul, dan selebihnya itu di ambil dari cerita mahabarata.
Lambang NKRI & Lambang Kerajaan Samudera pasai

Bintancenter.blogspot.com
Elang Jawa (Sumber Bintancenter.blogspot.com


            Di Indonesia sendiri salah satu burung yang memiliki kemiripan dengan burung garuda adalah elang jawa namun itupun tidak keseluruhan bentuk fisik garuda memiliki kemiripan dengan elang jawa. Timbul pertanyaan bagi saya bahwa jika burung garuda ini memang pernah ada berarti ia tidak di Indonesia dugaan penulis mungkin ia pernah ada di India karena merujuk pada kisah mahabarata tentang burung garuda, dari beberapa referensi yang penulis baca burung garuda esensialnya tidak lebih hanya mitos dalam cerita mahabarata. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah mengapa ia menjadi lambang Negara RI, kenapa bukan Elang jawa atau jenis burung yang lain, apakah karena ceritanya burung Garuda yang begitu sakti dalam beberapa mitos maka ia dijadikan sebagai lambang Negara, lalau jika ia mitos berarti kasaranya adalah lambang Negara kita adalah “Mitos”.


Dari sudat pandang teman-teman sendiri bagaimana melihat lambang Negara kita yang hingga hari ini masi terus dipertanyakan beberapa orang karena tidak adanya referensi yang betul-betul mengulas secara mendalam tentang burung garuda, ataukan memang kebenaranya garuda hanya terjadi dalam mitos..??