Seruan yang sering kali kita dengar dalam media. Baik elektronika,
media cetak, adalah kritik atas nama pemerintah. Seruan tersebut
diekspresikan dengan berbgai cara, ada demonstrasi, via media, dan lain
sebagainya semuanya hanya memiliki cirri yang sama yaitu kritik kinerja
pemerintah. Semua masyarakat mungkin tau bahwa pemerintah memang hadir
untuk menjadi stimulus, pengontrol, kekuatan, untuk mengangkat nama
sebuah bangsa yang di huni oleh masyarakat banyak yang harus memiliki
karisma yang luar biasa di mata dunia itulah salah satu tujuan suatu
bangsa. Yah saya meyakini di tahun-tahun sebelumnya nama Indonesia,
dengan keperkasaan garuda, dan kibaran sang saka, pernah dikagumi oleh
dunia, karena kekayaan yang di miliki, di antaranya kekayaan budaya yang
di lambangkan oleh garuda, yang kemudia di aplikasikan dalam Panca
Sila, kekayaan alam yang begitu terkenal, dan satu lagi yang menjadi
kekaguman di mata dunia adalah Indonesia di kenal sebagai Negara
pluaralisme dan itu mampu di jaga menjadi damai dalam perbedaan, yang
kemudian muncul suatu motto bangsa ini yaitu “Bhineka Tungga Ika”
(berbeda-beda tetapi tetap satu jua).
Saaat kita telah berhasil mendobrak sebuah kekuasaan raksasa, di tahun 1998 di bawah pimpinan seorang jendaral yaitu Soeharto, dengan sikapnya yang sangat represif dan dictator, yang akhirnya menjadikan masyarakat untuk melakukan reformasi kekuasaan pmerintah, karena di nilai system soeharto tidak sesuai dengan nilai-nilai humanisme. Pada saat itu jugalah muncul berbagai gerakan dari berbagai kalangan turun ke jalan, ada Akademisi, Aktivis, Lsm. Yang kemudian menyatukan suara mereka dalam orasi untuk mendobrak kekuasaan raksasa dalam kejayaanya selama 32 tahun memimpin republic ini. Tak sedikit nyawa yang mlelayang dalam tragedy tersebut, tetapi itulah perjuangan dalam melawan rezim, yang di nilai sebagai resim yang penuh tanda Tanya. Mengutip pernyataan dari omm reks, salah satu dosen ilmu Hukum Uksw, mengatakan bahwa melawan sebuah kekuasaan sama dengan “Ingat melawan Lupa” .
Setelah tumbangnya resim soeharto pada tahun 1998, Indonesia memulai membuka lembaran baru, dekonstruksi dalam system kemudian di hidupkan di tata kembali. Dengan keyakinan bahwa kedepan harus jauh lebih baik. Dari gerakan-gerakan inilah yang dilakukan oleh para aktivis, mahasiswa 98 yang kemudian menghasilkan 6 butir agenda penting reformasi di antaranya;
Mungkin saya terlalu pragmatis dalam menilai sebuah scenario yang diperankan oleh elit bangsa ini, namun secara fundamental jika kajian kita memang betul-betul mengarah kepada ranah pengembangan suatu Negara yang dalam tahapanya sedang berkembang yang harus kita terapkan salah satunya adalah sikap pragmatis. Karena saya meyakini bahwa dalam sebuah organisasi yang besar, seperti Negara, dalam mengambil sebuah tindakan, putusan harus penuh dengan strategi yang matang di sinilah paragmatisme akan menampakkan dirinya.
Dengan semaki krtitisnya nasib bangsa ini yang kemudia menarik perhatian bagi para politikus di negri ini, yang kemudian mencoba untuk membandingkan resim harto dengan resim saat ini yang kita kenal sebagai era demokrasi. Beberapa opini yang beredar bahwa ada kerinduan terhadap rezim pak Harto. Bayak pula yang mengatakan bahwa lebih baik milih dictator, dari pada demokratis. Tetapi sebanarnya posisi dua kubu ini adalah dilema jika ditinjau dalam tatanan masyarakat Indonesia. Pemimpin yang demokratis di anggap lamban, dictator diprotes, nah akhirnya timbullah pertanyaan bahwa siapakah sosok pemimpin yang tepat dalam memimpin? Jawaban yang mungkin muncul adalah dua-duanya harus dimiliki seorang peimpin yaitu demokratis dan dictator. Nah ketika jawaban tersebut yang akan muncul maka saya tertarik mengunakan istilah sinergi, bahwa sikap demokratis dan dictator harus bisa bersinergi, tetapi bisakah kita melhat sifat sinergi itu dalam maindseet manusia. Yang mungkin sifat manusia itu bisa kita menilai dari tingka laku, komuikasi (bahasa tubuh) tetapi saya meyakini bahwa manusia tidak satu dimensi, tetapi ada dimensi lain yang paling terpenting. Nah inilah sebuah tanda Tanya yang besar bagi kita semua. Saya yakin jika supremasi hukum betul-betul ditegakkan dalam agenda seorang pemimpin maka saya yakin kedepanya dengan sendirinya akan berubah.
THANKS
Saaat kita telah berhasil mendobrak sebuah kekuasaan raksasa, di tahun 1998 di bawah pimpinan seorang jendaral yaitu Soeharto, dengan sikapnya yang sangat represif dan dictator, yang akhirnya menjadikan masyarakat untuk melakukan reformasi kekuasaan pmerintah, karena di nilai system soeharto tidak sesuai dengan nilai-nilai humanisme. Pada saat itu jugalah muncul berbagai gerakan dari berbagai kalangan turun ke jalan, ada Akademisi, Aktivis, Lsm. Yang kemudian menyatukan suara mereka dalam orasi untuk mendobrak kekuasaan raksasa dalam kejayaanya selama 32 tahun memimpin republic ini. Tak sedikit nyawa yang mlelayang dalam tragedy tersebut, tetapi itulah perjuangan dalam melawan rezim, yang di nilai sebagai resim yang penuh tanda Tanya. Mengutip pernyataan dari omm reks, salah satu dosen ilmu Hukum Uksw, mengatakan bahwa melawan sebuah kekuasaan sama dengan “Ingat melawan Lupa” .
Setelah tumbangnya resim soeharto pada tahun 1998, Indonesia memulai membuka lembaran baru, dekonstruksi dalam system kemudian di hidupkan di tata kembali. Dengan keyakinan bahwa kedepan harus jauh lebih baik. Dari gerakan-gerakan inilah yang dilakukan oleh para aktivis, mahasiswa 98 yang kemudian menghasilkan 6 butir agenda penting reformasi di antaranya;
- Penegakan supremasi hukum,
- Pemberantasan KKN
- Pengadilan mantan presiden Soeharto dan para kroninya,
- Amandemen konstitusi
- Pencabutan dwifungsi TNI/POLRI, serta
- Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.
Mungkin saya terlalu pragmatis dalam menilai sebuah scenario yang diperankan oleh elit bangsa ini, namun secara fundamental jika kajian kita memang betul-betul mengarah kepada ranah pengembangan suatu Negara yang dalam tahapanya sedang berkembang yang harus kita terapkan salah satunya adalah sikap pragmatis. Karena saya meyakini bahwa dalam sebuah organisasi yang besar, seperti Negara, dalam mengambil sebuah tindakan, putusan harus penuh dengan strategi yang matang di sinilah paragmatisme akan menampakkan dirinya.
Dengan semaki krtitisnya nasib bangsa ini yang kemudia menarik perhatian bagi para politikus di negri ini, yang kemudian mencoba untuk membandingkan resim harto dengan resim saat ini yang kita kenal sebagai era demokrasi. Beberapa opini yang beredar bahwa ada kerinduan terhadap rezim pak Harto. Bayak pula yang mengatakan bahwa lebih baik milih dictator, dari pada demokratis. Tetapi sebanarnya posisi dua kubu ini adalah dilema jika ditinjau dalam tatanan masyarakat Indonesia. Pemimpin yang demokratis di anggap lamban, dictator diprotes, nah akhirnya timbullah pertanyaan bahwa siapakah sosok pemimpin yang tepat dalam memimpin? Jawaban yang mungkin muncul adalah dua-duanya harus dimiliki seorang peimpin yaitu demokratis dan dictator. Nah ketika jawaban tersebut yang akan muncul maka saya tertarik mengunakan istilah sinergi, bahwa sikap demokratis dan dictator harus bisa bersinergi, tetapi bisakah kita melhat sifat sinergi itu dalam maindseet manusia. Yang mungkin sifat manusia itu bisa kita menilai dari tingka laku, komuikasi (bahasa tubuh) tetapi saya meyakini bahwa manusia tidak satu dimensi, tetapi ada dimensi lain yang paling terpenting. Nah inilah sebuah tanda Tanya yang besar bagi kita semua. Saya yakin jika supremasi hukum betul-betul ditegakkan dalam agenda seorang pemimpin maka saya yakin kedepanya dengan sendirinya akan berubah.
THANKS
No comments:
Post a Comment