Tak
terasa malam semakin larut, suasana hati semakin hening, di terpah oleh
kedinginan malam. Aku hanya di temani oleh secangkir kopi, namun suasana itu
tak membuatku bosan, karena aku di bimbing oleh alunan lagu daerahku, nada-nada
yang slow pendalaman akan seni lagu oleh si penyanyinya membuat hati pikiran
ini tetap betah berada di depan layar, hanya untuk membuka mata bagi kalian
semua, bahwa inilah manifestasi diriku yang tertuang dalam tulisan ini, tentang
betapa berharganya diriku ada di tengah-tengah masyarakat baru, oleh karena aku
dibekali sebuah jati diri sebagai mahkluk yang diciptakan sang Esa dan
dititipkan untuk Mamasa.
Aku lahir besar di sebuah
perkampungan di salah satu daerah di mamasa, tepatnya di sasakan (sumarorong)
pada tahun 1991 yang lalu, disitulah aku dihadapkan oleh alam yang sejuk, aku
di pertemukan oleh manusia yang berbudaya unik, aku di tempatkan pada
lingkungan yang nyaman, sungguh eksistensi diri yang sangat tak terukur, begitu
luar biasanya pemberian itu. Aku hanya bisa mengatakan “itu bukan pilihan, itu bukan
panggilan aku di tempatkan pada ruang itu, namun ini adalah pijakan hidup saya
itu alasanya aku terkagum dengan apa yang mengada pada diri pribadiku ini”. Hari
demi hari aku lalui, dengan berbagai macam seluk-beluk kehidupan, semuaya
terasa penuh dengan suka duka, aku terus berproses dari tahap demi tahap.
Sebuah lakon kehidupan yang sungguh menghibur hingga akhirnya saya beranjak
menjadi seorang yang dewasa, dan pada akhirnya saya bisa memberikan hasil
pikiranku terhadap ruang yang
membesarkan aku, ruang itu adalah Mamasa.
Makna demi makna aku rangkum
dalam aplikasi kehidupanku, saya selalu berusaha untuk selalu memaknai
jejak-jejak langka hidupku. Yang tak bermakna sekalipun aku berusaha
memaknainya hingga pada akhirnya aku bisa menjadi orang yang bermakna untuk
mamasa, yang penuh dengan makna-makna yang unik nan mengagumkan. Akhirnya aku
tiba pada kesimpulan bahwa apa yang saya maknai yang aku aplikasikan, kini
menjadi saham yang terus berinvestasi pada perjuangan-perjuangan yang aku
lakukan, itulah yang saya sebut sebagai identitas. Aku saat ini hidup di
tengah-tengan masyarakat yang jauh dari mamasa yang cukup plural, di hadapkan dengan
budaya-budaya sangat bersebrangan dengan budayaku, ada Ambon, Jawa, Batak, Bali
dan lainya. Namun aku merasa tak terasing, itu artinya betapa kuatnya identitas
ini. Aku mengenalkan kepada mereka cirri kemamasaan saya melalu pembawan diri
saya baik itu tingka laku, tutur kata semuanya menjadi baik-baik saja. Aku
tersenyum, bangga, terkadang heran akan hal ini, namun itulah realitas. Bahwa
aku kemanapun hidup di mana pun, aku tetap putra Mamasa. Aku menarik sebuah
benang merah melalui pemkanaan filsafat atas apa yang saya rasakan selama ini
menjadi seorang yang lahir besar di mamasa, “Bahwa mamasa bukanlah pilihanku,
namun itu pijakan hidup dari Sang khalik (Tuhan), mamasa bukanlah hasil logika,
maka itu artinya aku harus berpikir agar Mamasa bukan menjadi perenungan
pemikiran tetapi menjadi dasar atas apa yang kita pikirkan, memasa menjadikan
aku berbeda dari yang lain. Aku berusaha agar bisa menjadi orang yang bisa
terus berinvestasi kepada mamasa, karena isi mamasa adalah saham yang baik.
“Terimah kasih atas pemberian Mu”
Oleh : Fandi