Wednesday, 9 May 2012

MAMASA YANG PENUH DENGAN MAKNA, MAKA ITU AKU INGIN BERMAKNA UNTUK MU (Cerpenku)


 For Mamasa

Tak terasa malam semakin larut, suasana hati semakin hening, di terpah oleh kedinginan malam. Aku hanya di temani oleh secangkir kopi, namun suasana itu tak membuatku bosan, karena aku di bimbing oleh alunan lagu daerahku, nada-nada yang slow pendalaman akan seni lagu oleh si penyanyinya membuat hati pikiran ini tetap betah berada di depan layar, hanya untuk membuka mata bagi kalian semua, bahwa inilah manifestasi diriku yang tertuang dalam tulisan ini, tentang betapa berharganya diriku ada di tengah-tengah masyarakat baru, oleh karena aku dibekali sebuah jati diri sebagai mahkluk yang diciptakan sang Esa dan dititipkan untuk Mamasa.

               Aku lahir besar di sebuah perkampungan di salah satu daerah di mamasa, tepatnya di sasakan (sumarorong) pada tahun 1991 yang lalu, disitulah aku dihadapkan oleh alam yang sejuk, aku di pertemukan oleh manusia yang berbudaya unik, aku di tempatkan pada lingkungan yang nyaman, sungguh eksistensi diri yang sangat tak terukur, begitu luar biasanya pemberian itu. Aku hanya bisa mengatakan “itu bukan pilihan, itu bukan panggilan aku di tempatkan pada ruang itu, namun ini adalah pijakan hidup saya itu alasanya aku terkagum dengan apa yang mengada pada diri pribadiku ini”. Hari demi hari aku lalui, dengan berbagai macam seluk-beluk kehidupan, semuaya terasa penuh dengan suka duka, aku terus berproses dari tahap demi tahap. Sebuah lakon kehidupan yang sungguh menghibur hingga akhirnya saya beranjak menjadi seorang yang dewasa, dan pada akhirnya saya bisa memberikan hasil pikiranku  terhadap ruang yang membesarkan aku, ruang itu adalah Mamasa.

               Makna demi makna aku rangkum dalam aplikasi kehidupanku, saya selalu berusaha untuk selalu memaknai jejak-jejak langka hidupku. Yang tak bermakna sekalipun aku berusaha memaknainya hingga pada akhirnya aku bisa menjadi orang yang bermakna untuk mamasa, yang penuh dengan makna-makna yang unik nan mengagumkan. Akhirnya aku tiba pada kesimpulan bahwa apa yang saya maknai yang aku aplikasikan, kini menjadi saham yang terus berinvestasi pada perjuangan-perjuangan yang aku lakukan, itulah yang saya sebut sebagai identitas. Aku saat ini hidup di tengah-tengan masyarakat yang jauh dari mamasa  yang cukup plural, di hadapkan dengan budaya-budaya sangat bersebrangan dengan budayaku, ada Ambon, Jawa, Batak, Bali dan lainya. Namun aku merasa tak terasing, itu artinya betapa kuatnya identitas ini. Aku mengenalkan kepada mereka cirri kemamasaan saya melalu pembawan diri saya baik itu tingka laku, tutur kata semuanya menjadi baik-baik saja. Aku tersenyum, bangga, terkadang heran akan hal ini, namun itulah realitas. Bahwa aku kemanapun hidup di mana pun, aku tetap putra Mamasa. Aku menarik sebuah benang merah melalui pemkanaan filsafat atas apa yang saya rasakan selama ini menjadi seorang yang lahir besar di mamasa, “Bahwa mamasa bukanlah pilihanku, namun itu pijakan hidup dari Sang khalik (Tuhan), mamasa bukanlah hasil logika, maka itu artinya aku harus berpikir agar Mamasa bukan menjadi perenungan pemikiran tetapi menjadi dasar atas apa yang kita pikirkan, memasa menjadikan aku berbeda dari yang lain. Aku berusaha agar bisa menjadi orang yang bisa terus berinvestasi kepada mamasa, karena isi mamasa adalah saham yang baik. “Terimah kasih atas pemberian Mu”

Oleh : Fandi

Monday, 7 May 2012

KEKERASAN DAN SENI

          Tampa visi, manusia cenderung menjadi lesu, melamban, tak tentu arah, dan puas pada diri sendiri, tampa orang-orang yangmemiliki visi, maka manusia tak beranjak dari budaya purba, dengan adanya orang-orang idealis, penemu pembaru, serta agen-agen perubahan lajnya maka kehidupan menjadi maju. jika anda merasa tak mampu mewarnai dan mengubah dunia tap setidaknya anda memiliki visi atau impian, maka nikmatilah seninya, dan rasakan bedaya. selamat membaca sebagian dari visi saya.

Sungguh sangat memprihatinkan nasib bangasa ini dengan semakin maraknya budaya kekerasan, di tengah masyarakat indonesia. budaya kekerasan bukan lagi menjadi hal yang baru  bagi masyarakat kita, nampaknya hal ini sudah semakin mendekat di sendi-sendi kehidupan masyarakat nusantara. sekian banyak pemberitaan yang ada ada di media elektronik, tak sedikit yang menjadi pengisi acaranya adalah pemberitaan budaya kekerasan.kekerasan tersebut tak hanya kita jumpai di masyarakat kecil namun di kalangan  aparat negara.

           Problem  kebudayaan ini harus mendapatkan perhatian yang serius untuk kita, dan kemudian kita berjalan bersama-sama untuk mencarikan solusi penyelesaianya, agar ini tidak menjadi sebuah persoalan yang terus beregenerasi dari masa ke masa, jika hal ini bisa kita sadar dan kemudian membangun sebuah konsep kebersamaan dalam penuntasan masalahnya, agar bangsa ini tidak memperoleh peridikat  bangasa yang biadab oleh bangsa lain di dunia ini. kebudayaan kekerasaan akan pula menghilangkan kesempatan anak bangsa ini untuk dapat hidup normal sebagai manusia yang utuh. coba saja kita mengamati kota-kota besar, misalkan jakarta, surabaya, semarang, kelihatanya para orang tua di kota-kota besar ini, sangat begitu was-was dalam melepaskan anaknya untuk pergi ke sekolah atau keluar tampa dampingan orang tua, karena rasa takut akan terjadinya kekerasan antar pelajar. 

Tak paham Seni

           Hingga hari ini orang-orang ahli ilmu sosial menghubungkan awal kemunculanya kebudayaan kekerasan itu dengan adanya kesenjangan ekonomi di tengah  masyarakat. namun menurut hemat penulis sendiri bahwa indikator kemunculanya hal ini oleh karena tak paham makna dari setiap sendi-sendi kebudayaan alias tak mendalami sendi dari ragam kebudayaan. buta huruf jika menghinggapi manusia makan kemungkinan manusia ini akan menjadi manusia yang kerdil. maksudnya adalah manusia yang sangat sempit wawasanya karena tidak meiliki cukup informasi yang dapat menjadikan mereka sebagai manusia yang memiliki wawasan luas. demikian pula manusia yang buta seni, misalkan seni musik, seni lukis dan sastra dan seni yang lainya. maka manusia yang menderita penyakit itu juga menjadi manusia yang kerdil, dalam artian manusia yang buta seni akan mudah bertindak tampa mempertimbangkan kemanusianya.

                 Bagi penulis bahwa ketidak pahaman seni ini akan berpengaruh atas keseimbangan jiwa, rasa dan pemikiran itu tak bersinergi dengan baik jika orang tak bisa menjadikan seni sebgai salah satu asumsi diri. nah untuk bisa menjadikan iwa ini seimbang maka salah satu yang bisa di tempuh adalah pendidikan, orang musik jika ia mendalami dari sisi-sisi seninya, bukan hanya alunan iramanya, maka di sana ia akan mengerti tentang pluralisme yang seimbang dan damai, coba saja kalain amati musik, misalkan 1 group band, ataukah orkestra, di sana terdapat berbagai jenis musik, ada gitar biola, piano drum, semuanya jika bunyi satu persatu nada yang keluar sangat berbeda dengan yang lainya, namun ketika di bunyikan secara serentak dengan kunci nada yang sama maka hal tersebut akan mengeluarkan bunyi yang sangat indah di telingan. inilah yang saya juga sebut sebgai simbol multikulturala yang damai. utnk melakukan ini semua tentunya mereka yang mendalami seni musik tersebut.

             Apa bila kita ingin menanyakan apa tugas sarjana, khususnya sarjana seni, di masa-masa akan datang ? maka jawabanya jelas, yaitu memberantas penyakit "Buta Seni" yang saat ini di derita bangsa ini. Para sarjana seni harus melakukan dua jenis advokasi untuk mencapai tujuan itu. advokasi pertama di tunjukan untuk meminta perhatian pemerintah, khususnya Departement Pendidikan Nasional, agar mau memeberikan perhatian pada pengajaran seni dan  budaya di sekolah-sekolah indonesia. Advokasi yang kedua di tunjukan kepada masyarakat  agar mereka memahami masa depan bangsa ini tidak akan hanya ditentukan oleh banyaknya anak-anak indonesia yang jago matematika, namun juga akan ditentukan oleh anak-anak yang benar-benar matang dan memiliki daya kreativitas yang tinggi. dan saya meyakini satu hal jika hal ini telah terbuka maka saya yakin budaya kekerasaan di indonesia akan hilang.