Hanya karena terlibat diskusi yang tak
harus aku lakukan tapi itu aku memaknainya
sebagai kekeliruan maka aku tak ingin membiarkan saudaraku larut dalam
kekeliruan yang sadar maka dari itu aku menitipkan pesan melalui mulut besarku,
maka bacalah bibir saya
Mungkin saat
ini tak ada manusia yang tidak berkeyakinan, saya memastikan itu, keyakinan dalam hal ini yang saya maksudkan
adalah keyakinan religius, Indonesia pun telah melegitimasi secara nasional 6 agama
yang di akui, yaitu Islam, Kristen, Budha, Hindu, Kongfuchu. Hal ini saya bisa
katakana bahwa tujuan utamanya dari kepercayaan tersebut adalah kepada Sang
Pencipta, berbuat baik adalah kewajiabnya. Cuma dalam penafsiran tentang
eksistensi manusia, baik itu dari proses penciptaan, dunia kahirat, pandangan
hidup itu berbeda, tapi semuanya di wakili satu kata yang bijak yaitu tujuanya
semua adalah “kebaikan”. Tapi pertanyaanya adalah mengapa konflik yang bernuasa
agama acap kali terjadi di belahan dunia ini, termasuk di Indonesia satu teka
teki tentang eksistensi Agama.
Mungkin menjelaskan hal ini
bukanlah hal yang mudah, karena orang yang seiman saja masi saja sering berbeda
pendapat, apa lagi berbeda keyakinan berbeda pendapat itu hal yang sudah pasti ada,
tpi aku selalu meyakini satu hal bahwa memang manusia adalah mahkluk yang
sangat tak terprediksi dan sangat kompleks untuk di pahami, dan bahkan tak akan
pernah bisa di terukur apa batasanya tentang bangunan pemikiranya pada
masing-masing individus ini suatu kewajaran, tapi di samping kerumitanya tapi
sebanranya semua itu bisa di konsesnsuskan untuk bisa berdiri pada rel yang
sama inilah komitmen.
Kemarin saya
sempat terlibat dengan diskusi panjang yang boleh dikatakan tak akan bisa
ketemu benang merahnya karena kita bicara pada topic yang sama tapi kita
berdiri pada keyakinan yg berbeda, tpi anehnya beberapa di antara kami
mengunakan keyakinanya sebagai kekuatan untuk menjadikan kebenaran umum, yah
orang pasti tidak terimah lah karena di dalamnya terdiri keyakian yang beragam,
sementara ada yang menjadikan keyakinanya sebgai patokan kebenaran, yah orang
bisa perang lah tapi aku selalu berusaha tidak menanggapinya dalam perspektif
agama tapi dengan segala kesadaranku aku menggagasnya dalam rana yang berbasis
ilmu tapi pada akhirnya kebenaran yang kita ingin cari tak ada yang ada adalah
pembenaran yang di akui sebagai kebenaran. Tapi terlepas dari itu aku Cuma
belajar satu hal dari diskusi itu bahwa memang kita selalu terjebak dengan tiga
hal yaitu “Benar, pembenaran, dan Kebenaran”, sering kali kita menjadikan
pembenaran menjadi kebenaran, dan benar menjadi pembenaran, inilah yang selalu
menjadi pemicu saat orang sedang bicara keyakinan. Mereka terlalu euphoria
dengan keyakinya saat berbicara akhirnya mereka tak lagi sadar saat ia berdiri
pada iklim yang berbeda.
Prinsip yang medasar bagi
umat adalah keyakinan/iman tak di batasi oleh ruang dan waktu, tapi ingat satu
hal bahwa mengkomunikasikanya harus kita mengunakan pendekatan umum, itu
mengapa? karena jika kita menjelaskan secara totalitas tentang keyakinan kita
mengunakan cirri khas keyakinan kita secara pribadi, serta ajaran kita
sekalipun maka jangan salahkan orang jika ia menanggapimu dengan keras, karena
mereka akan merasa bahwa keyakinanya tidak di selaraskan dengan keyakinamu, dan
kemungkinan ia akan bilang ini doktrin agamawan jiak totalitas keyakinan dalam
hal ini agama kita jelaskan kepada seiman kita nah ini jauh lebih bagus, itu
tidak soal. Kembali pada diri masing-masing bahwa keyakinan adalah mutlak
adanya kebenaranya dalam diri manusia, nyata adanya, tapi tidak bisa di general
bahwa mutlak secara pribadi menurut kita, itu juga mutlak bagi orang lain, maka
caranya adalah pakailah bahasa umum untuk menjelaskan kebaikan kepada mereka,
di sinilah fungsi bahasa yang beretika di gunakan. Beragama sesungguhnya tak
sekedar di yakini secara pribadi tapi juga di junjung tinggi tentang keselamatn
bagi manusia-manusia lainya, karena bicara keyakinan berarti kita membicarakan
hak yang paling asasi.
Terlepas dari etika bahasa,
aku kemudia mengingat kembali tentang karya terbesar yang di anugerahkan Sang
Mahakarya adalah “Akal budi”, aku bangga dan mau bilang inilah sesungguhnya CPU
manusia, di dalmnya terdapat sofwere tentang aplikasi-aplikasi yang akan di
tampakkan manusia dalam hidup, baik buruk itu ada di dalamnya, pertanyaanya
adalah apakah semuanya akan di gunakan? Jawabanya tentu ia kabaikan akan
menutupi keburukanmu maka selalulah menekankan kebaikan selagi anda masi bisa
menyadari tentang hakikat hidup bahwa manusia akan berdosa jikalau melanggar
kuasa Tuhan saat melakukan keburukan-keburukkan di dunia, ini jelas batasanya
maka mengapa kita enggan melakukan kebaikan.
Saya sebagai bagian dari
kuasa yang transenden itu tak mampu melakukan semua tuntutan hidup, tapi paling
tidak aku sadar apa yang saya lakukan, ini yang paling penting juga kita
lakukan. Sadar tentang komunikasi yang kita bangun dengan sesama umat yang
berbeda agama itu sangat di butuhkan, sadar akan perbedaan itu akan menciptakan
keindahan karena mereka terdiri dari corak yang berbeda-beda tapi saling
mamahami, indah rasanya jika semunya kita sadar tentang hal ini. Maka konflik
agama pun akan sirnah di muka bumi. Tapi ini nampaknya mustahil. Tapi inginya
saya adalah paling tidak kita tidak menjadikan agama sebagai alat dominasi
dengan mengorbankan isi-isi di dalamnya sebagai umpan untuk meyakinakan kepada
orang lain bahwa akulah kebenaran. Kebenaran akan datang sendiri jika anda
melakukanya dengan nurani yang adil tampa mengurangi kehormatan orang lain
bukan kah ini yang kita impikan sesungguhnya’’?
Maka dari itu melalu catatan
singkat ini aku hanya ingin kita semua menciptakan kesadaran yang rasional
bahwa kita bukanlah kebenaran melainkan pelaku kebenaran mungkin ini lah
sedikit kalimat filsafat yang aku bisa petik. Bahwa kebenaran hanya ada pada
diri kita sendiri dan kitalah yang memberinya makna. Soal itu di terimah oleh
orang lain itu bukan kebenaran tapi itulah kesepakatan bahasa. Kita hanya bisa
membuat benar sesuatu di depan umum, bukan kebenaran, ingin tau apa itu
kebenaran? dia adalah kepercayaan itu sendiri. Maka jika ada orang bilang bahwa
kebenaran itu ada di mana mungkin ia sedang di tipu dengan keyakinanya. Kalau Descartes (filsuf farancis) bilang hati
hati dengan panca inderamu karena itu bisa menipumu, aku juga mau mengutip
pernyataan kawan saya “hati-hati dengan keyakinamu karena itu bisa saja
menipumu” (Ones HIhika, mahasiswa UKSW), dan aku juga mau bilang bahwa saat
susatu yang di yakini sebagai kebenaran umum, dan ada orang yang menyangkalnya
sebagai sesuatu yang di pertanyakan maka mari kita telusuri apakah benar itu
kebenaran ataukah itu kesepakat bahasa.
Berpijak pada bumi yang sama
bicara pada keyakina yang berbeda tapi hidup dan mati tetap menghampiri kita
semua, ini adalah sebuah ke agungan sang pencipta bahwa saaatnya kalian sadar
bahwa sesungguhnya kita semua sama
No comments:
Post a Comment