Realitas Sosial di Indonesia
Pendahuluan
Peranan sosial agama harus di lihat
sebagai sesuatu yang mempersatukan. Atau dalam pengertian harafianya agama
menciptakan suatu ikatan bersama, baik antara anggota-anggota beberapa
masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan
mereka. Karena nilai-nilai yang mempersatukan sistem-sistem kewajiban sosial di
dukung bersama oleh kelompok-kelompok keagaman, maka agama menjamin adanya
persetujuan bersama dalam masyarakat. Dan agama juga cenderung melestarikan
nilai-nilai sosial.
Memang
agama mempersatukan kelompok pemeluknya sendiri begitu kuatnya sehingga apabila
ia tidak dianut oleh seluruh atau sebagian besar anggota masyarakat, ia bisa
menjadi kekuatan yang mencerai beraikan, memecah bela dan bahkan menghancurkan.
Di samping itu juga agama tidak hanya selalu memainkan peranan yang bersifat
mempelihara dan menstabilkan. Khususnya pada saat terjadi perubahan besar di
bidang sosialdan ekonomi, agama sering memainkan peranan yang bersifat kreatif,
inovatif, dan bahkan bersifat revolusioner.
Dalam
usaha menganalisa fungsi-fungsi sosial dari tingkah laku keagamaan. Kita harus
berhati-hati membedakan antara yang ingin dicapai oleh anggota- anggota suatu
kelompok pemeluk tertentu dan akibat yang tidak dikehendaki dan tingkah laku
mereka dalam kehidupan masyarakat. Tampa adanya tingkah laku seperti itu,
sangat boleh jadi tingkah laku keagamaan tidak akan diaksanakan. Hal inilah
yang sebenarnya gagal di analisa oleh sebgian besar umat beragama di indonesia,
sehingga apa yang menjadi nilai-nilai dari agama yang diyakini dalam masyarakat
kita, tidak teraplikasikan dengan baik. Mungkin begitu kasar ketika kita
mengatakan bahwa bukan lagi nilai-nilai agama yang di perjuangkan, tetapi
sebuah ideologi, tetapi itulah realitas yang terjadi.
Agama
mengajarkan moral dan etika untuk hidup dalam suatu masyarakat. Universalitas
moral dan etika menjamin keaneka ragaman budaya, adat dan kebiasaan serta
warisan genetika. Namun agama seringkali disalah gunakan untuk membasmi sesuatu
yang berbeda pada aspek budaya, adat, kebiasaan dan warisan genetik. Namun
nampaknya agama tidak berdaya sama sekali dalam mencegah penyalahgunaan
tersebut. Malahan agama nampaknya digunakan oleh ambisi kekusasaan dan
menghalalkan pembasmian-pembasmian terbatas maupun tak terbatas, di bumi
Indonesia yang penduduknya konon, hampir 100% beragama justru kemaksiatan,
percabulan, perjudian, KKN, aniaya, kejahatan, narkoba, pelacuran, konflik
antar umat beragama, bermunculan gerakan-gerakan radikal. Berbagai masalah ini
yang bernuansa, seolah menjadikan bangsa indonesia takut akan komunitasnya
sendiri, trauma yang mendalam, akibat konflik yang berulang kali terjadi di
bangsa ini, konflik agama yang terakhir terjadi yaitu di temanggung beberapa
bulan yang lalu, tentunya tragedi ini meninggalkan luka yang mendalam bagi yang
berkonflik, terlebih lagi masyarakat setempat yang bermukim di sekitar tempat
kejadian.
Ada apa dengan agama di
Indonesia sebenarnya,? Ini adalah pertanyaan mendasar yang akan muncul,
Jawabannya sederhana, agama (entah disadari atau tidak) ada dalam kekuasan manusia dan bukan dalam kekuasaan Tuhan. Kata Tuhan masih sering diperdebatkan padahal seseorang yang mengatakan. Tuhan kepada apa dan siapapun menyatakan bahwa ia adalah abdi atau hamba dari yang ia nyatakan sebagai Tuhan.
Jawabannya sederhana, agama (entah disadari atau tidak) ada dalam kekuasan manusia dan bukan dalam kekuasaan Tuhan. Kata Tuhan masih sering diperdebatkan padahal seseorang yang mengatakan. Tuhan kepada apa dan siapapun menyatakan bahwa ia adalah abdi atau hamba dari yang ia nyatakan sebagai Tuhan.
Rupanya Tuhan sudah terpisah dari agama oleh ulah manusia yang mengabdi kepada agama dan bukan kepada Tuhan jadi agama sudah menjadi Tuhan bagai banyak orang di Indonesia. Terbukti bahwa pada hampir semua formulir data seseorang ada kata agama, sehingga dalam seluruh dokumen formal di Negeri ini lebih banyak kata "agama" dari pada kata Tuhan. Inilah penulis maksudkan sebelumnya, bahwa umat beragama sudah tidak memperjuangkan nilai-nilai yang terkandung dalam agama, tetapi perjuanganya sudah beralih kepada ideologi semata. Inilah ketertarikan penulis untuk mengambil topik tentang kegagalan agama dalam menjalankan demokrasi, karena saya berpendapat bahwa agama tidak mampu menyelenggarakan masyarakat yang bermoral tinggi dan mulia dalam berdemokrasi.
Agama
dan Demokrasi
Jika dikaji secara natural, sebenarnya nilai-nilai yang di
bawa oleh agama merupakan refleksi kritis atas permasalahan yang terjadi pada
kehidupan sosial-kemasyarakatan. Masalah-masalah sosial pada masa turunnya
agama-agama adalah ketika terjadi banyak ketimpangan-ketimpangan sosial baik di
bidang politik, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Semangat yang di bawa oleh
agama adalah semangat pembebasan manusia dari segala bentuk ketimpangan itu dan
menuju pribadi sosial yg egaliter atau setara, berkebebasan dan demokratis.
Pada hal ini, kita jumpai terdapat nilai-nilai demokratis dalam semangat ajaran agama, bahwa segala gap sosial harus di benahi dan mewujudkan kesejahteraan serta kebebasan sebag bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalm bingkai pemahaman egalitarianisme sosial.
Di dalam konsep agama dan demokrasi terdapat perbedaan secara
fundamental. Perbedaan terlihat di ranah ontologis. Aktualisasi prima sikap
keberagamaan adalah penyerahan diri sepenuhnya pada kehendak Tuhan. Sementara
demokrasi mewujud dalam sikap sedia bernegosiasi dengan mempertimbangkan
kehendak orang lain. Demokrasi berarti menempatkan kehendak dan rasionalitas
manusia yang terlembagakan sebagai referensi tindakan sosial kemasyarakatan dan
bernegara. Sedangkan dalam khidupan beragama, yang menjadi referensi puncak
adalah ajaran Tuhan. Selain hal yg di sebutkan, secara historis antropologis,
sosiologis, sjarah agama tak terlepas dari realitas kenyataan, peran agama tidak
jarang hanya di gunakan untuk kpentingan politik dan kekuasan dalam
mempertahankan status quo, sehingga memunculkan gerakan sektarian
pemberontakan.
Secara teologis pula kita pahami bahwa, ajaran agama yg bersifat deduktif-metafisis dan selalu mendasarkan rujukan pada Tuhan (padahal Tuhan tak nampak secara empiris), sementara demokrasi adalah persoalan empiris dan bersifat dinamis, maka agama tak punya kompetensi untuk berbicara dan menyelesaikan persoalan demokrasi. Meskipun terjadi perbedaan pada ranah ontologis, tapi keduanya menemukan kesepahaman di ranah aksiologis, bahwa agama dan demokrasi teraktualisasi dalam objek yang sama, yaitu manusia degan segala kompleksitasnya. Titik temu agama dan demokrasi ini menebarkan doktrinitas yang egaliter agar keduanya memiliki premis dan komitmen yang sama tentang cita-cita kemanusiaan yang menjadi objek aksiologisnya.
Asumsi tersebut di wujudkan dalam bentuk bertemunya cita-cita demokrasi dan komitmen agama sebgai refleksi keimanan untuk menegakkan masyarakat yg egaliter dan dalam bingkai kesejahteraan sosial. Agama dan demokrasi harus mampu saling mengisi dan mengayomi khidupan berbangsa dan bernegara. Dan sebenarnya cita-cita inilah yang menurut penulis ingin diwujudkan dalam negara demokrasi seperti indonesia, jika demokrasi dikaji dari sudut pandang agama, itu sangat memungkinkan demokrasi itu terwujud, karena agama sangat menjunjung tinggi etika moral, menentang kekerasan, menentang diskriminasi dan yang bekaitan dengan pelanggaran abmoral. Andai ini bisa dijalankan lembaga agama maka indonesia akan bebas dari masalah seperti kekerasan, diskriminasi SARA, dan KKN. Tetapi hingga sekarang ini wujud dari demokrasi itu masi sangat jauh. Persoalannya, bagaimana memberi ruang gerak bagi ormas dan partai keagamaan yang ada tetapi tetap konsisten membangun demokrasi secara rasional sehingga agama dan negara tumbuh saling melengkapi, bukannya intervensi ataupun melakukan kooptasi. Akhir-akhir ini muncul gejala yang perlu dicermati bersama, jangan sampai tampilnya partai dan tokoh-tokoh agama dalam panggung, politik akan membunuh bibit dan pohon demokrasi mengingat hubungan agama dan demokrasi tidak selalu positif.
Seandainya
umat beragama dalam menjalankan roda demokrasi di indonesia, sesuai pandangan etika
agama yan lebih menitik beratkan kepada tanggung jawab moral, yang menganggap
bahwa lembaga-lembaga politik sebagai alat bagi umat beragama untuk mengejar
tujuan-tujuan duniawinya yang dikuduskan dan cita-cita bagi surgawinya, dan
juga menginterpretasikan kekuasaan politik dari sudut moral, maka agama sangat
dimungkinkan bisa menjadi dasar dari perjalanan demokrasi di indonesia. Karena
semua kekuasaan duniawi dianggap sebagai pemberian Tuhan, kepada
parapemegangnya sebgai tugas sucinya. Jadi bukanlah berarti bahwa umat beragam
di larang untuk terjun ke bidang politik, tetapi dalam artian keterlibatanya di
dalam bidang tersebut, harus dalam tuntunan imanya, dan juga penuh tanggung
jawab sosial, dan tanggung jawab sakralnya yang di ilhamkan oleh Tuhan.
Tanggung
jawab inilah yang sesungguhnya terlupakan oleh umat-umat beragama, dalam
menjalankan otoritasnya baik dalam bidang politik, ekonomi, sosiologi, semuanya
sudah tak terkontrol lagi, mereka hanya terbawa dengan euforia dalam moment
tertentu, keserakahan material haus kekuasaanlah sebagai pemicu atas
terlupakanya tanggung jawab sosialnya sebagai umat Tuhan. Di mana-mana terjadi
kekerasan, konflik antar umat beragama, saling fitna, karena dengan alasan
kekuasaan, kepentingan pribadi, semuanya tidak teraplikasikan lagi dalam ruang
agama, semuanya lepas dengan alasan yang tidak sesuai dengan moralitas umat
beragama. Penulis berharap ini jangan di pandang sebagai tantangan, tetapi ini
adalah kewajiban yang terlupakan, bukan sesuatu yang hadir dengan tiba-tiba,
karena dilupakanya tanggung jawab ini sehingga berbagai macam masalah yang
muncul, yang mungkin kita mengibaratkanya sebagai tantangan baru, dalam
realitas sosial.
Kesimpulan
Dari paparan di atas kita bisa menarik kesimpulan, bahwa
hubungan agama dengan demokrasi memang sangat dipentingkan untuk menuntun
perjalanan demokrasi. Agama diharapkan bisa menjadi dasar yang kuat untuk
menopang berdirinya demokrasi. Tetapi ralitas yang terjadi dalam negara
indonesia belum bisa menjamin bahwa peran agama dalam menopang berdirinya
demokrasi belum mampu menjadi dasar yang kuat. Berbagai macam indikator yang
bisa kita indentifikasi, yaitu pandangan umat beragama terhadap agama itu
sendiri sudah bergeser, saya berasumsi bahwa bukan lagi agama dipandang sebagai
alat menghubungkan diri dengan Sang Pencipta, tetapi seolah-olah agamalah yang
telah menjadi Tuhan. Yang diperjuangkan adalah ideologinya bukan lagi
nilai-nilai agamanya.
Oleh: Fandi