Dalam negara Indonesia
begitu banyak kebudayaan , yang melekat di berbagai daerah di indonesia, serta masing-masing memiliki ciri khas
tersendiri. Kecenderung kebudayaan yang dimiliki suatu daerah, berbeda dengan
daerah lain meskipun konteksnya sama, misalkan acara orang mati, memang
konsepnya sama yaitu acara duka namun dalam proses pelksanaanya dalam
mengupacarakan berbeda-beda pula, misalkan di bali jika keturunan bangsawan,
itu dilakukan pembakaran mayat (ngaben) di toraja rambu solok, mayat disimpan
bertahun-tahun di rumah sebelum dimakamkan, tergantung strata sosial yang
disandang, dan ada juga yang langsung dimakamkan. Inilah yang disebut kekhasan
kebudayaan daerah di indonesia.
Berkaitan
dengan topik di atas di sini penulis ingin mengkaji ulang asal muasal dari
sebuah kebudayaan, karena kita pahami kebudayaan itu adalah produk yang di
gagas manusia, kemudian di praktekkan secara turun temurun. Yang menjadi pokok
pembahasan ini saya ingin memperkenalkan salah satu kepercayaan lokal yang ada
di Mamasa, yaitu Aluk Todolo, yang konon orang-orangnya yang banyak menggagas
sebagian besar warisan budaya di mamasa yang kmudian dipraktekkan sampai
sekarang ini. Seiring dengan perkembangan jaman, kepercayaan ini sudah kian
memudar, baik pemeluk kepercayaan, kebudayaan kini tak lagi terjamin
loyalitasnya seperti dari awal perkembanganya, ada berbagai macam sebab yang
menjadi faktor kepudaran nilai-nilai dalam kepercayaan lokal ini, yang pertama
adalah pola komunikasi, perkembangan ilmu, pengetahuan, kontrak sosial
(perkawinan) dengan kepercayaan modern yang dikenal dengan Agama atau
kepercayaan yang diwahyukan Tuhan.
Masuknya
agama-agama besar di daerah Mamasa, seperti, Kristen, Islam, Hindu, yang menjadikan
pemeluk-pemeluk kepercayaan lokal ini mulai beralih, yang kemudian meninggalkan
kepercayaan Lokal tersebut, proses peralihan kepercayaan ini cenderung melalui
pola perkawinan, pola komunikasi, dan juga perkembanagn ilmu pengetahuan, .
Ironisnya ketika mereka meninggalkan kepercayaan tersebut, secara tidak
langsung, benih-benih warisan dari kepercayaan tersebut, mulai memudar bersamaan
dengan perubahan pola peralihan kepercayaanya. Tetapi dalam tataran memudarnya
nilai-nilai kebudayaan dalam keprcayaan ini, penulis tidak mengeneralisasi,
bahwa semua masyarakat yang sebelumnya memeluk kepercayaan lokal ketika masuk
dalam agama-agama “modern” semuanya
melupakan warisana budaya, ada beberapa masyarakat yang sudah memeluk
kepercayaan modern, tetapi masi sering
mempraktekkan ritual-ritual yang berasal dari kepercayaan lokal.
Karena
penulis sangat menyadari bahwa kebudayaan itu sangat penting untuk tetap di
jaga eksistensinya, karena kebudayaan bisa menjadi salah satu identitas
kedaerahan, dan tentunya bisa menjadi
bagian promosional daerah itu sendiri. Ada beberapa warisan budaya yang
ditanamkan oleh keprcayaan Aluk Todolo di mamasa, misalkan acara ‘Rambu
Tuka’ syukuran saat selesai panen, mendirikan rumah baru,
perkawinan, Rambu Solo” (kedukaan),
dan di daerah Messawa Sumarorong, dan Simbuang ada di kenal dengan
istilah Memala’ yang bertujuan untuk meminta keselamatan manusia di bumi kepada
Dewata (Tuhan), dan juga Mangatta, yaitu memandihkan anak-anak mulai dari umur
2 thn-7 thn, bertujuan supaya pertumbuhan si anak menjadi baik.
Namun
di akhir-akhir ini ada beberapa ritual-ritual tersebut sudah sangat jarang di
praktekkan kembali, misalkan Memala’ (hubungan manusia dengan alam),
mangngatta, (tentang keselamatan bayi).
Penulis pernah mencoba berdiskusi dengan teman-teman yang sudah memeluk agama
Kristen, dan saya mencoba
mengkorelasikan ritual yang di atas
dengan pandangan kekristenan, namu sebagian menganggap, hal tersebut tabu dan “dan
berbau animisme”, sementara saat saya bertemu langsung dengan sala seorang
pendeta di Mamasa ia mengatakan hal tersebut sangatlah penting untuk diwarisi,
karena hal ini adalah aset kebudayaan daerah, sementara jika alas an yang
mengetakan bahwa ritual tersebut ateis,
pendeta ini kurang bersetuju, karena ia menganggap kebudayaan dengan
agama itu harus dibedakan, kegiatan seperti ini adalah bagian dari adat yang
diwariskan oleh leluhur kita dan akan
menjadi sebuah kebanggaan.
Dan
memang jika kita sebagai umat beragama selalu memandang agama sebagai basis
ilmu pengetahuan, maka relasi dengan keprcayaan lokal akan bisa berjalan
beriringan tampa harus terjadi tawar menawar, maksudnya agama modern tidaklah
selalu beranggapan bahwa kepercayaan lokal ini harus di integrasikan dengan agama-agama modern,
karena dianggap animisme. Sementara
dalam masyrakat yang sudah memeluk agama kristen, islam, bukan berarti harus
meninggalkan nilai warisan kepercayaan lokal. Karena menurut penulis, jika kita
tetap mempertahankan warisan tersebut, bukan berarti nilai, dalam agama kita akan
bergeser, dan sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran agama, selagi kita
umat beragama bisa membedakan mana yang masuk dalam etika ajaran agama, dan
ajaran lokal, dalam perspektif adat, budaya.
Saatnya
kita mendoktrin diri sendiri dalam perspektif kepercayaan, bahwa bagaiman pun
juga yang disebut agama adalah bagian dari budaya, yang juga berasal dari
gagasan manusia. Jadi tidak sepantasnya kita mengklaim bahwa kepercayaan inilah
yang paling benar, tetapi bagaiman kita membentuk kesadaran relegius, untuk
bisa memadukan kepercayaan yang berbeda, untuk bisa membangun relasi yang damai
dalam kehidupan bersama. Damai adalah impian semua mahluk di bumi dan akan
menjadi bukti bahwa itulah kualitas hidup manusia yang sesungguhnya sebagai
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
No comments:
Post a Comment