Friday 10 June 2011

KEPERCAYAAN LOKAL "VS" KEPERCAYAAN MODERN (AGAMA) DI MAMASA

Dalam negara Indonesia begitu banyak kebudayaan , yang melekat di berbagai daerah di indonesia,  serta masing-masing memiliki ciri khas tersendiri. Kecenderung kebudayaan yang dimiliki suatu daerah, berbeda dengan daerah lain meskipun konteksnya sama, misalkan acara orang mati, memang konsepnya sama yaitu acara duka namun dalam proses pelksanaanya dalam mengupacarakan berbeda-beda pula, misalkan di bali jika keturunan bangsawan, itu dilakukan pembakaran mayat (ngaben) di toraja rambu solok, mayat disimpan bertahun-tahun di rumah sebelum dimakamkan, tergantung strata sosial yang disandang, dan ada juga yang langsung dimakamkan. Inilah yang disebut kekhasan kebudayaan daerah di indonesia.
            Berkaitan dengan topik di atas di sini penulis ingin mengkaji ulang asal muasal dari sebuah kebudayaan, karena kita pahami kebudayaan itu adalah produk yang di gagas manusia, kemudian di praktekkan secara turun temurun. Yang menjadi pokok pembahasan ini saya ingin memperkenalkan salah satu kepercayaan lokal yang ada di Mamasa, yaitu Aluk Todolo, yang konon orang-orangnya yang banyak menggagas sebagian besar warisan budaya di mamasa yang kmudian dipraktekkan sampai sekarang ini. Seiring dengan perkembangan jaman, kepercayaan ini sudah kian memudar, baik pemeluk kepercayaan, kebudayaan kini tak lagi terjamin loyalitasnya seperti dari awal perkembanganya, ada berbagai macam sebab yang menjadi faktor kepudaran nilai-nilai dalam kepercayaan lokal ini, yang pertama adalah pola komunikasi, perkembangan ilmu, pengetahuan, kontrak sosial (perkawinan) dengan kepercayaan modern yang dikenal dengan Agama atau kepercayaan yang diwahyukan Tuhan.
            Masuknya agama-agama besar di daerah Mamasa, seperti, Kristen, Islam, Hindu, yang menjadikan pemeluk-pemeluk kepercayaan lokal ini mulai beralih, yang kemudian meninggalkan kepercayaan Lokal tersebut, proses peralihan kepercayaan ini cenderung melalui pola perkawinan, pola komunikasi, dan juga perkembanagn ilmu pengetahuan, . Ironisnya ketika mereka meninggalkan kepercayaan tersebut, secara tidak langsung, benih-benih warisan dari kepercayaan tersebut, mulai memudar bersamaan dengan perubahan pola peralihan kepercayaanya. Tetapi dalam tataran memudarnya nilai-nilai kebudayaan dalam keprcayaan ini, penulis tidak mengeneralisasi, bahwa semua masyarakat yang sebelumnya memeluk kepercayaan lokal ketika masuk dalam agama-agama “modern”  semuanya melupakan warisana budaya, ada beberapa masyarakat yang sudah memeluk kepercayaan modern,  tetapi masi sering mempraktekkan ritual-ritual yang berasal dari kepercayaan lokal.
            Karena penulis sangat menyadari bahwa kebudayaan itu sangat penting untuk tetap di jaga eksistensinya, karena kebudayaan bisa menjadi salah satu identitas kedaerahan,  dan tentunya bisa menjadi bagian promosional daerah itu sendiri. Ada beberapa warisan budaya yang ditanamkan oleh  keprcayaan Aluk Todolo  di mamasa, misalkan acara ‘Rambu Tuka’ syukuran saat selesai panen, mendirikan rumah baru, perkawinan, Rambu Solo” (kedukaan),  dan di daerah Messawa Sumarorong, dan Simbuang ada di kenal dengan istilah Memala’ yang bertujuan untuk meminta keselamatan manusia di bumi kepada Dewata (Tuhan), dan juga Mangatta, yaitu memandihkan anak-anak mulai dari umur 2 thn-7 thn, bertujuan supaya pertumbuhan si anak menjadi baik.
            Namun di akhir-akhir ini ada beberapa ritual-ritual tersebut sudah sangat jarang di praktekkan kembali, misalkan Memala’ (hubungan manusia dengan alam), mangngatta,  (tentang keselamatan bayi). Penulis pernah mencoba berdiskusi dengan teman-teman yang sudah memeluk agama Kristen,  dan saya mencoba mengkorelasikan ritual  yang di atas dengan pandangan kekristenan, namu sebagian menganggap, hal tersebut tabu dan “dan berbau animisme”, sementara saat saya bertemu langsung dengan sala seorang pendeta di Mamasa ia mengatakan hal tersebut sangatlah penting untuk diwarisi, karena hal ini adalah aset kebudayaan daerah, sementara jika alas an yang mengetakan bahwa ritual tersebut ateis,  pendeta ini kurang bersetuju, karena ia menganggap kebudayaan dengan agama itu harus dibedakan, kegiatan seperti ini adalah bagian dari adat yang diwariskan  oleh leluhur kita dan akan menjadi sebuah kebanggaan.
            Dan memang jika kita sebagai umat beragama selalu memandang agama sebagai basis ilmu pengetahuan, maka relasi dengan keprcayaan lokal akan bisa berjalan beriringan tampa harus terjadi tawar menawar, maksudnya agama modern tidaklah selalu beranggapan bahwa kepercayaan lokal ini harus  di integrasikan dengan agama-agama modern, karena dianggap animisme.  Sementara dalam masyrakat yang sudah memeluk agama kristen, islam, bukan berarti harus meninggalkan nilai warisan kepercayaan lokal. Karena menurut penulis, jika kita tetap mempertahankan warisan tersebut, bukan berarti nilai, dalam agama kita akan bergeser, dan sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran agama, selagi kita umat beragama bisa membedakan mana yang masuk dalam etika ajaran agama, dan ajaran lokal, dalam perspektif adat, budaya.
            Saatnya kita mendoktrin diri sendiri dalam perspektif kepercayaan, bahwa bagaiman pun juga yang disebut agama adalah bagian dari budaya, yang juga berasal dari gagasan manusia. Jadi tidak sepantasnya kita mengklaim bahwa kepercayaan inilah yang paling benar, tetapi bagaiman kita membentuk kesadaran relegius, untuk bisa memadukan kepercayaan yang berbeda, untuk bisa membangun relasi yang damai dalam kehidupan bersama. Damai adalah impian semua mahluk di bumi dan akan menjadi bukti bahwa itulah kualitas hidup manusia yang sesungguhnya sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

No comments:

Post a Comment