Dalam pengalaman sehari-hari saya, saya tentu menemukan diri saya di dunia. Ada dua cara di mana saya bisa berarti di "dunia" hal utama adalah, Dunia seperti planet bumi atau dunia sebagai orientasi terhadap lingkungan saya. Di dunia pertama, dunia fisik, bukanlah pengalaman sehari-hari dalam totalitasnya. Ini adalah konstruksi reflektif dan kognitif dari hubungan saya dengan benda-benda fisik. Saya tidak secara langsung mengalami dunia sebagai dunia. Tetapi dalam arti dunia parsial, orientasi saya tidak terutama dan biasanya menuju dunia yang "objektif". kedua dunia adalah duniaku karena saya tinggal dan hidup di dalamnya, hidup,dunia dan saya adalah dunia makna bagi saya. Ini adalah dunia terorganisir dan ditafsirkan sesuai dengan makna saya. Ini adalah pengalaman sehari-hari keutamaan saya, yang juga masing-masing dari kita memiliki dunia itu.
Di atas telah saya katakana bahwa orientasi saya "tidak terutama dan biasanya arah ini" adalah dunia obyektif "artinya saya adalah, bahwa benda umumnya tidak menampilkan diri kepada saya hanya sebagai obyek. Sebaliknya saya menganggap mereka sebagai makna-obyek dalam bidang saya. Manusia acap kali dikatakn oleh manusia itu sendiri sebagai mahluk istimewa di antara mahluk lainya, bahwa karena manusia di berikan Pencipta apa yang disebut “Akal Budi”. Pandangan ini jelas banyak yang meragukan bahwa jika dilihat dalam kerangka adaptisinya terhadap alam justru tumbuh-tumbuhanlah yang berhasil beradaptasi bagi alam eksistensi alam menjadi kondusif atas implikasi dari tumbuhan tersebut, lalau jika adaptasi manusi di lihat dalam kerangka aksi ko aksinya dengan alam justru alam nampak jadi chaos (kacau) kerusakan alam dalam hal ini adalah bencana alam sebagian besar adalah keangkuahan manusia terhadap alam, lalau inikah yang disebut keistimewaan manusia di banding mahkluk lainya? Pertanyaan semcam ini bukanlah pertanyaan mudah, bahkan hal ini menjadi pusat perhatian ilmuwan, tentang siapa manusia sesungguhnya, dan bagaimana manusia benar-benar menjadi manusia yang katanya berakal budi. Ada sebuah pernyataan dari Tonybee yang menarik ia mengatakan bahwa “Manusia disebut manusia, bukanlah ketika ia bisa merubah anatomi tubuhnya, bukan ketika ia bisa memanfaatkan tehknologi yang baik dan maksimal, namun manusia disebut manusia ketika fajar kesadaranya bangkit”. Manusia yang berkesadaran akan selalu punya gambaran tentang implikasi dari tindakanya, selalu punya pertimbangan sebelumnya terkait kemungkinan-kemungkinan yang akan menjadi implikasi dari tindakan yang dilakukan inilah yang disebut “Berpikir baru bertindak”,
Memang semua bidang ilmu mengakui bahwa objek yang paling rumit untuk dipahami dan di analisa adalah manusia. Justru bagi saya bahwa yang mewah dari manusia adalah kesulitanya untuk dipahami, jika dikatakan bahwa manusia istimewah karena ia memiliki akal budi, ia memiliki bahasa, maka pertanyaan saya adalah apakah binatang dan tumbuhan tidak memiliki hal yang sama yang dimiliki manusia. Mungkin hal itu juga ada pada mahkluk lain selain manusia, mahkluk lain dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya tidak semata-mata di seting sang Khalik untuk ia bertumbuh dinamis yang hidup matinya di dasarkan pada soal waktu. Tetapi ia juga sanga ditentukan oleh adaptasinya dengan alam sekitar, karena satu analogi yang dapat dibuktikan kebenaranya yaitu bahwa “Tidak ada mahluk hidup yang ingin mati konyol” .analogi demikianlah yang dkemudian bisa dijadikan sebuah gambaran bahwa mahluk hidup pada dasarnya bergerak di atas kesadaran yang sama akan eksistensi. Satu-satunya mahkluk yang berpikir adalah manusia menurut manusia. Pikiran ini yang menjadikan manusia menjadi terpandang, terhormat, bahagia, namun juga ia bisa menderita karena pikiran itu sendiri. Maka dari itu saya mengatkan bahwa tidak ada pikiran orang barat, pikiran orang timur, pikiran Kristen pikiran islam pikiran aku dan pikiran kamu, namun yang ada adalah pikiran itu saja, ia bagian dari kesadaran ia dapat menjadi besar karena kesadaran.
Rasio Manusia dan Akal Sehat
Sering kali kita mendengar sebuah pernyataan bahwa yang membedakan manusia dengan binatang yang lain adalah kemampuan kita menalar. Bayak bintang yang lain kurang lebih sampai tarap tertentu, sadar akan dunia fisis, dan member respon terhadapnya, tetapi manusia mengklaim lebih dari sekedar kesadaran. Dalam budaya-budaya primitive pemahaman tentang dunia terbatas pada ururusan sehari-hari, semacam perjalanan musim, gerak ketapel atau anak panah. Pemahaman itu sepenuhnya pragmatis, dan tidask memiliki basi teoritis, kecuali dalam istilah-istilah magis. Konsep tentang penalaran manusiaitu sendiri adalah konsep yang mengherankan. Kita sangat mudah terpesona dengan argument “yang masuk akal” dan merasa paling bahagia dengan argument-argumen yang menarik dengan “akal sehat”. Namun perlu diketahui bahwa proses-proses pemikira manusia itu bukan anugerah Tuhan. Mereka memiliki asal-usulnya dalan struktur otak manusia, dan tugas yang telah direncanakan untuk dilaksanakanya.
Apa yang kita sebut akal sehat adalah produk pola-pola berpikir yang tertanam secara mendalam dalam jiwa manusia, yang agaknya karena mereka member manfaa-manfaat tertentu dalam menanggulangi situasi-situasi keseharian, seperti menghindar dari benda-benda yang keungkinan membahyakan dirinya misalkan menghidar dari binagang –binatang buas. Hal yang menarik perlu diketahui bahwa aspek pemikiran nanusia di atur oleh kabel-kabel otak, sementara yang lainya diwariskan sebagai “perangkat lunak genetic” dari nenek moyang kita sejak dahulu, demikian pun “akal sehat” dan rasionalitas manusia adalah konsep-konsep yang terprogram secara genetic pada tingkatan terdalam di otak kita. Dalam hal ini saya bisa mengatakan bahwa dalam hal kit bisa berspekulasi bahwa apakah mahkluk asing seperti
(alien) yang tersusun di bawah keadaan-keadaan yang sangat berbeda akan sama-sama membentuk konsep tentang akal sehat, atau sesungguhnya juga apa saja tentang pola-pola pemikiran kita. Jika seandainya apa yang pernah di renungkan oleh beberap penulis fiksi-ilmiah, kehidupan di atas permukaan sebuah binatang neutron memang ada, orang tidak dapat menebak bagaimana benda-benda semacam itu memahami dan berpikir tentang dunia. Mungkin saja bahwa konsep yang dimiliki mahkluk asing tentang rsionalitas besar perbedaanya sehingga mahkluk ini sama sekali tidak terpesona oleh apa yang kita pandang sebagai argument rasional. Lalau apakah dalam hal ini penalaran rasional di curigai? Atau apakah memang kita terlalu picik atau terlalu patriotic degan menduga bahwa kita mampu menerapkan dengan baik pola-pola berpikir Homo Sapiens kepada isu-isu besar tentang eksistensi? Sesungguhnya tidak harus demikian. Proses-proses mental kita telah tersusun sebagaimana layaknya kerena mereka merefleksikan semacam hakikat dunia fisis yang kita huni.
Dalam hal ini saya berpandangan bahwa penalaran manusia pada umumnya dapat dipercaya. Adalah fakta kehidupan bahwa orang menganut kepercayaan-kepercayaan, terutama sekali dalam lapangan agama, yang mungkin dipandang irrasional. Bahwa kepercayaan-kepercayaan itu dianut secara irrasional tidak berarti mereka salah. Boleh jadi, ada rute menuju pengetahuan (semacam lewat mistisme atau wahyu)yang melampaui ataupun mengambil jalan pintas rasio manusia ? dalam hal ini saya kemudian lebih berupaya mengambil penalaran manusia sejauh mana ia akan bergerak. Jika memang dunia rasioanl, paling tidak dalam ukuran besar, apakah sesungguhnya asal-usul rasionalitas tersebut ? ia tidak dapat muncul dengan sendirinya dalam pikiran kita, karena pikiran-pikiran kita semata-mata merefleksikan apa yang sudah adan di sana. Haruska kkita mengandalkan penjelasan pada seorang Perancang rasional ? atau dapatkah rasionalitas “menciptakan dirinya sediri” lewat daya “kemasuk akal-an” yang dimilikinya semata?. Memang benar semakn kita mengetahui tentang alam semakin ia juga tak terbatas. Inilah bukti bahwa kita punya Perancang yang Agung yang ia ada di mana-mana tapi ia tunggal dialah yang kita kenal sebagai Tuhan.
No comments:
Post a Comment