Anak kecil yg lgi bakar kue |
Bicara sola
masyarakat berarti menunjuk pada sekumpulan manusia sedangkan bicara soal
kearifan berarti menunjuk pada pola perilaku yang khas dalam masyarakat. Kearifan
adalah sebuah kebiasaan dalam sebuah daerah yang itu mencirikan tentang praktek
kehidupan masyarakatnya, ia dikatakan arif ketika nilai-nilai kebiasaan it terus
dilakukan secara berulang-ulang dan itu melekat pada pelapisan social masyarakatnya.
Unsur kedaerah yang terpenting adalah karakter masyarakatnya, karakter ini
dilihat secara keseluruhan dalam aspek social.
Suatu
hari seorang teman mahasiswa yang dari lampung mengatakan bahwa gotong royong
sesungguhnya saya tidak temukan di Jawa yang mana banyak orang bilang bahwa
dijawalah gotong royong benar-benar
hidup, namun hal itu justru saya temukan benar di pulau Sulawesi orang berpesta orang syukuran orang bikin
rumah orang berduka adalah perbandingan yang sangat tepat dimana kita melihat symbol
gotong royong di pula Sulawesi (tutur temanku). Pernyataan demikian
mengingatkan saya pada daerahku yaitu Mamasa bahwa di mana pernyataan teman saya di atas memang benar adanya, sebuah
kearifan local yang paling kental di daerah kita adalah system gotong royong
yang sangat tinggi, di saat kita panen padi di sawa misalkan, kita melihat segerombolan orang yang datang
untuk ikut memanen padi sang pemilik sawah tampa diminta harus datang atau
membuat rumah atau acara lainya ini sudah tertanam dalam jiwa orang mamasa
mungkin aku sebut sebagai “kesadaran local”.
Seiring
mengalirnya kritikan demi kritikan dari banyak masyarakat khususnya masyarakat
awam terkait pembangunan di mamasa namun bagi penulis kearifan tidak akan
disetarakan dengan dunia politik atau seputar iklim birokrasi di Mamasa,dalam
pandangan penulis luhurnya nilai kelokalan lebih bisa menopang eksistensi
daerah itu sendiri ketimbang menjadikan iklim politik sebagi asumsi dasar. Kedua
hal ini sangat penting untuk
keberlangsungan pembangunan namun tentu harus bermartabat. Bicara soal kearifan
local di Mamasa tidak hanya dengan icon gotong royong namun tutur kata, tata karama
yang benar-benar diturunkan dari pemula-pemula peradaban “Kondo Sapata” itu
juga berhasil diturunkan secara matang untuk Mamasa, hingga akhirnya ini
menjadi budaya berkomunikasi bagi masyarakatnya sebuah nilai yang tak terukur
yang diwariskan para leluhur kita. Saya teringat sebuah motto lembang kondo
sapaa yang mengatakan “Moi tau sipoloan
kayu ke mettamai tondok ke marupa tau di
angga toi” yang artinya biarpun orang yang stengah berbadan kayu jika datang di
kampung kita, tapi berwajah manusia juga
harus di anggap, motto ini benar-benar kaya makna dan semoga ini
benar-benar terus melekat dalam kehidupan orang mamasa.
Dalam
diri penulis harus diakui bahwa warisan nilai tentang kearifan tersebut banyak
mempengaruhi saya, dan bahkan nilai itu bisa mengkondisikan saya pada tempat
yang berbeda, ada cirri kemamasaan saya yang terus terbawa ketika saya bergumul
dengan orang lain, tidak dapat disangkal tentang nilai tersebut sebagai orang
yang sadar akan hal ini mestinya bersyukur atas kearifan tersebut, nilai-nilai
yang telah melekat sejak lama tidak dirubah oleh lingkungan yang baru ia tetap
hidup, ini jugalah yang penulis sebut sebagai “keagungan tradisi”. Mengaku orang
mamasa harus ada miniature tentang tradisi orang mamasa yang anda harus bawa,
semoga anda jgua memiliki yang sama dengan penulis.
Merujuk
pada karakter masyarakat mamasa yang peka akan tata karma dalam berbahasa,
gotong royong yang kuat, tapi kok ini tidak terjadi dalam iklim perpolitikan
yah? Pertanyaan ini mengkhari tulisan ini.
No comments:
Post a Comment