Tuesday, 25 March 2014

Potret Perempuan dalam Iklan


Perempuan sesungguhnya bukan hanya menghadapi musuh lama (laki-laki), tetapimusuh baru yang lebih perkasa, yakni kapitalisme. Laki-laki bahkan telah dimanfaatkan oleh kapitalisme untuk bersama-sama  melestarikan struktur hubungan gender yang timpang. Pelestarian ketimpangan hubungan itu tidak hanya menyebabkan perempuan semakin tersubordinasi, tetapi juga menyebabkan terjadinya subordinasi perempuan oleh perempuan sendiri. Hal ini nampak dala posisi yang ditempati perempuan dalam iklandi mana di satu sisi perempuan merupakan alat persuasi di dalam menegaskan citra sebuah produkdan sisi lain perempuan perempuan merupakan konsumen yang mengkonsumsi produk kapitalisme.  

                Iklan sebagai ruang gerak baru bagi perempuan telah memungkinkan perempuanuntuk mengespresikan dan mengaktualisasikan diri. Keseluruhan konsep perempuan kemudian mengalami transformasi dan perempuansebagai orang yang terliabat dalam kegiatan domestik,sebagai pekerja keluarga, atau sebagai masyarakat second clas menjadi perempuan yang lebih otonom dan penuh kebebasan. Dunia iklan bagi perem.puan telah menjadi basis  politik emansipasi, dalam usaha perempuan keluar dari ikatan=-ikatan tradisional dan masa lalu. Namun demikian, dunia iklan berorientasi pada kelompok tertentu sehingga kelompok (perempuan) yang tidak memiliki akses mengalami subordinasi. Keberadaan perempuan dalam iklan ini sesungguhnya juga menggelisahkan perempuan lain, karena produk yang ditawarkan oleh sebuah iklan telah membangkitkan fantasi begitu banyak perempuan lain terhadap produk mengingat perempuan merupakan kelompok pembelanja terbesar

Kehadiran perempuan dalam iklan juga telah mentransformasikan tatanan kehidupan secara meluas; nilai tentang gaya dan cara berpakaian yang lebih bervariasi, seperti nilai sexi-ness  dari sebuah pakaian yang diiklankan; nilai humbungan laki-0laki dan perempuan yang lebih terbuka (sseperti yang tampak dalam berbagai iklan penyegar mulut dan alat kebugaran) atau nikai kemewahan dalam gaya hidup (seperti hadirnya berbagai perangkat modernitas, dari mobil, handphone, hingga perhiasan-perhiasan) yang semua itu menegaskan nilai autentik kehadiran seseorang. Implikasi tersebut muncul berkaitan dengan kecenderungan iklan memotret aspek tertentu dari perempuan, yakni bentuk tubuh, keindahanya, dan kesegaran tubuh. Selain merupakan faktor pernting dalam seleksi sosial, keterlibatan perempuan dalam periklanan juga menjadi faktor dominan dalam sosialisasi nilai, khusunya nilai tentang “keperempuanan” bahkan debora lupton beranggapan bahwa iklan-iklan pada dasarnya menggunakan tubuh perempuan untuk membangkitkan daya tarik erotik terhadap produk (lupton, 1994).

                Keberadaan perempuan seperti yang terlihat dalam iklan tampaknya ditentukan oleh serangkaian hubungan rumit. Tubuh yang merupakan bagian yang paling private dari seseorang perempuan telah menjadi milik publik yang tampak dari cara tubuh perempuan di tampilkan. Iklan yang menonjolkan bentuk penampilan, dan keindahan tubuh di tayangkan ke rumah-rumah dan berbagai tempat publik di mana proses beleajar berlangsung. Dari fenomena tersebut yang menjadi menarik adlah proses ini tidak menyebabkan terbentuknya potret perempuan yang baru, tetapi lebih merupakan “penegasan kembali” potret lama di mana perempuan merupakan objek seks. Seksisme akhirnya semakin menguat.

                Di sini memang terjadi pergeseran dalam menampilkan image perempuan dari objek seks ke sifa glamor dan kebebasan, namun ini lebih disebabkan oleh kepenltingan produk di mana difat perempuan yang ditampilkan di sesuaikan dengan produk oyang ingin di iklankan, bukan usaha langsung untuk memotret kebebasan dan kemampuan perempuan. Oleh karena itu menurut penulis  iklan menjadi penghambat dalam perkembangan peran perempuan, khusunya karena ia melestarikan citra perempuan sebagai objek seks, ibu dan istri yang baik, atau orang yang melayani.

                Selain iklan fenomen tersebut juga dapat ditemukan di beberapa film yang diluncurikan akhir-akhir ini, seperti  misalkan filim yang bernuansa horor, sebagian besar film-film indonesia yang horor menampilkan para perempuan yang berpenampilan vulgar, maka yang menjadi pusat hiburan sesungguhnya adalah bukan pada karakter yang ingin disampaikan lewat film melainkan mediasi tubuh yang di tampilakan pemeran perempuanya, padahal jika di pikir secara logika, korelasi antara horor dan penampilan seksi sesungguhnya sangat jauh. Penempatan  laki-laki sebagai “subjek”  dan perempuan sebagai “objek” merupakan pemosisian yang dilestarikan dalam berbagai bentuk wacana. Wacana yang dibangun oleh artis sendiri menarik untuk disimak karena memperlihatkan baaimana perspektif “designe”. 

                Proses dominasi kapaitalisme membuatr saya sangat tertarik melihat fenomena tersebut dengan mengunakan pendekatan dari pemikian Foucault sebagai the death of the subject, dalam hal ini perempuan sebagai subjek telah mati, di mana ia tidak lagi dapat mengendalikan dirinya sendiri, tetapi telah dikendalikan  oleh ideologi dan kepentingan pasar, aktivitas konsumsi menjadi panglima kehidupan. Dan perempuan sesungguhnya merupakan produk dari kehidupan sosial tersebut sehingga ia tersubordinasi oleh kepentingan-kepentingan dan harapan-harapanumum yang ingin melihat perempuan sebagai objek. Oleh karena itu ketika kita aberbicara tentang kekerasan terhadap perempuan, maka bukanlah pemukulan, perkosaan, atau beban fisik yang dialami perempuan yang perlu dipperhatian. Keseluruhan wacana publik yang dibagnun oleh berbagai agen sosial adalah kekuatan dhsyat yang melahirkan berbagai bentuk kekerasan itu karena ia telah membangun sebuah dunia yang gelap di mana hantu-hantu (laki-laki dan permpuan) saip memangsa perempuan.

Referensi
1996 “Seks Gender dan reproduksi Kekuasaan” Agus Dwiyanto
2008 “Feminist Thought” Rosemarie Putnam Tong”

2000 “Perempuan dalam Wacana Perkosaan” Eko Prasetyo & Suparman Marzuni

No comments:

Post a Comment