Perempuan
sesungguhnya bukan hanya menghadapi musuh lama (laki-laki), tetapimusuh baru
yang lebih perkasa, yakni kapitalisme. Laki-laki bahkan telah dimanfaatkan oleh
kapitalisme untuk bersama-sama
melestarikan struktur hubungan gender yang timpang. Pelestarian
ketimpangan hubungan itu tidak hanya menyebabkan perempuan semakin
tersubordinasi, tetapi juga menyebabkan terjadinya subordinasi perempuan oleh
perempuan sendiri. Hal ini nampak dala posisi yang ditempati perempuan dalam
iklandi mana di satu sisi perempuan merupakan alat persuasi di dalam menegaskan
citra sebuah produkdan sisi lain perempuan perempuan merupakan konsumen yang mengkonsumsi
produk kapitalisme.
Iklan
sebagai ruang gerak baru bagi perempuan telah memungkinkan perempuanuntuk
mengespresikan dan mengaktualisasikan diri. Keseluruhan konsep perempuan
kemudian mengalami transformasi dan perempuansebagai orang yang terliabat dalam
kegiatan domestik,sebagai pekerja keluarga, atau sebagai masyarakat second clas
menjadi perempuan yang lebih otonom dan penuh kebebasan. Dunia iklan bagi perem.puan
telah menjadi basis politik emansipasi,
dalam usaha perempuan keluar dari ikatan=-ikatan tradisional dan masa lalu.
Namun demikian, dunia iklan berorientasi pada kelompok tertentu sehingga
kelompok (perempuan) yang tidak memiliki akses mengalami subordinasi.
Keberadaan perempuan dalam iklan ini sesungguhnya juga menggelisahkan perempuan
lain, karena produk yang ditawarkan oleh sebuah iklan telah membangkitkan
fantasi begitu banyak perempuan lain terhadap produk mengingat perempuan
merupakan kelompok pembelanja terbesar
Kehadiran
perempuan dalam iklan juga telah mentransformasikan tatanan kehidupan secara
meluas; nilai tentang gaya dan cara berpakaian yang lebih bervariasi, seperti
nilai sexi-ness dari sebuah pakaian yang
diiklankan; nilai humbungan laki-0laki dan perempuan yang lebih terbuka
(sseperti yang tampak dalam berbagai iklan penyegar mulut dan alat kebugaran)
atau nikai kemewahan dalam gaya hidup (seperti hadirnya berbagai perangkat
modernitas, dari mobil, handphone, hingga perhiasan-perhiasan) yang semua itu
menegaskan nilai autentik kehadiran seseorang. Implikasi tersebut muncul
berkaitan dengan kecenderungan iklan memotret aspek tertentu dari perempuan,
yakni bentuk tubuh, keindahanya, dan kesegaran tubuh. Selain merupakan faktor
pernting dalam seleksi sosial, keterlibatan perempuan dalam periklanan juga
menjadi faktor dominan dalam sosialisasi nilai, khusunya nilai tentang
“keperempuanan” bahkan debora lupton beranggapan bahwa iklan-iklan pada
dasarnya menggunakan tubuh perempuan untuk membangkitkan daya tarik erotik
terhadap produk (lupton, 1994).
Keberadaan
perempuan seperti yang terlihat dalam iklan tampaknya ditentukan oleh
serangkaian hubungan rumit. Tubuh yang merupakan bagian yang paling private
dari seseorang perempuan telah menjadi milik publik yang tampak dari cara tubuh
perempuan di tampilkan. Iklan yang menonjolkan bentuk penampilan, dan keindahan
tubuh di tayangkan ke rumah-rumah dan berbagai tempat publik di mana proses
beleajar berlangsung. Dari fenomena tersebut yang menjadi menarik adlah proses
ini tidak menyebabkan terbentuknya potret perempuan yang baru, tetapi lebih
merupakan “penegasan kembali” potret lama di mana perempuan merupakan objek
seks. Seksisme akhirnya semakin menguat.
Di
sini memang terjadi pergeseran dalam menampilkan image perempuan dari objek
seks ke sifa glamor dan kebebasan, namun ini lebih disebabkan oleh kepenltingan
produk di mana difat perempuan yang ditampilkan di sesuaikan dengan produk
oyang ingin di iklankan, bukan usaha langsung untuk memotret kebebasan dan
kemampuan perempuan. Oleh karena itu menurut penulis iklan menjadi penghambat dalam perkembangan
peran perempuan, khusunya karena ia melestarikan citra perempuan sebagai objek
seks, ibu dan istri yang baik, atau orang yang melayani.
Selain
iklan fenomen tersebut juga dapat ditemukan di beberapa film yang diluncurikan
akhir-akhir ini, seperti misalkan filim
yang bernuansa horor, sebagian besar film-film indonesia yang horor menampilkan
para perempuan yang berpenampilan vulgar, maka yang menjadi pusat hiburan
sesungguhnya adalah bukan pada karakter yang ingin disampaikan lewat film
melainkan mediasi tubuh yang di tampilakan pemeran perempuanya, padahal jika di
pikir secara logika, korelasi antara horor dan penampilan seksi sesungguhnya
sangat jauh. Penempatan laki-laki
sebagai “subjek” dan perempuan sebagai
“objek” merupakan pemosisian yang dilestarikan dalam berbagai bentuk wacana.
Wacana yang dibangun oleh artis sendiri menarik untuk disimak karena
memperlihatkan baaimana perspektif “designe”.
Proses
dominasi kapaitalisme membuatr saya sangat tertarik melihat fenomena tersebut
dengan mengunakan pendekatan dari pemikian Foucault sebagai the death of the subject, dalam hal ini
perempuan sebagai subjek telah mati, di mana ia tidak lagi dapat mengendalikan
dirinya sendiri, tetapi telah dikendalikan
oleh ideologi dan kepentingan pasar, aktivitas konsumsi menjadi panglima
kehidupan. Dan perempuan sesungguhnya merupakan produk dari kehidupan sosial
tersebut sehingga ia tersubordinasi oleh kepentingan-kepentingan dan
harapan-harapanumum yang ingin melihat perempuan sebagai objek. Oleh karena itu
ketika kita aberbicara tentang kekerasan terhadap perempuan, maka bukanlah
pemukulan, perkosaan, atau beban fisik yang dialami perempuan yang perlu dipperhatian.
Keseluruhan wacana publik yang dibagnun oleh berbagai agen sosial adalah
kekuatan dhsyat yang melahirkan berbagai bentuk kekerasan itu karena ia telah
membangun sebuah dunia yang gelap di mana hantu-hantu (laki-laki dan permpuan)
saip memangsa perempuan.
Referensi
1996 “Seks Gender dan reproduksi
Kekuasaan” Agus Dwiyanto
2008 “Feminist Thought” Rosemarie
Putnam Tong”
2000 “Perempuan dalam Wacana
Perkosaan” Eko Prasetyo & Suparman Marzuni
No comments:
Post a Comment