(Paradigma Budaya)
Boleh saja Anda melihat apa yang tidak Anda inginkan kerena ini
memperjelas Anda utnuk berkata “inilah saya inginkan”. Tetapi kenyataanya, semakin
anda membicarakan apa yang tidak Anda inginkan atau membicarakan bagaimana
buruknya hal itu, atau selalu membaca segala sesuatu tentangnya, anda
menciptakan lebih banyak hal yang tidak anda inginkan, maka itu bacalah yang
kami tidak inginkan ini
Masyarakat
yang kebudayaanya diwarnai oleh tradisionalisme cenderung untuk menengok ke
masa yang lampau apabila harus memecahkan sebuah masalah dalam hidupnya. Tradisi,
atau kalu di indonesia lebih umum dikenal dengan isitilah adat, menjadi pedoman
dalam mengatur tata hidupnya, baik tata hidup dalam keluarga di dalam
masyarakat, dalam hubunganya dengan orang-orang lain dari luar masyarakatnya. Dengan pegangan pada adat maka masyarakat
dapat mengatur kehidupanya dengan mantap dan kuat sehingga kehidupan itu
menjadi stabil. Adat itu menjadi bertambah kuat oleh karena menurut pendapat
masyarakat mengandung “restu” dari para leluhurnya baik yang masi ada dalam
dunia fana maupun yang sudah pindah ke dunia baka. Lebih kuat logika karena
adat dipahami, dihayati dan diamalkan oleh semua anggota masyaraka. Oleh karena
itu tidak mengherankan kalu adat itu sukar sekali diubah atau diganti dengan
unsur-unsur kebudayaan lain. Padahal ada unsur-unsur adat yang tidak dapat
dipertahankan apabila masyarakat hendak membangun ekonominya sesuai dengan
dalil-dalil ekonomi modern.
Lalu
jika dalil ini dibangun dengan mengunakan pemahaman kebudayaan yang diwarnai
dengan tradisionalisme, Mamasa tepatnya menjadi bagian dalil tersebut, perlu
diakui sebagai putra/putri daerah, bahwa benar Mamasa adalah daerah yang sangat
homogen, tingkat akulturasi, asimilasi, belum menjadi sebuaha tantangan, di
daerah tersebut. Mamasa dalam tatanan sosia yang terbangun sangat kental dengan
adat istiadat. Lalu pertanyaan yang akan muncul jika hipotesis ini benar,
adalah apakah kita sebagai putra/putri daerah Mamasa telah memanfaatkan dalil
kebudayaan sebagai salah satu indikator pembangunan, atau dalam hal ini dikenal
dengan proses ketahanan sosial, jika ia apa kontribusi pembanguna yang telah
diberikan, jika tidak mengapa..?, pertanyaan mendasar ini sangatlah patut untuk
dikaji bersama, agar ini menjadi sebuah catatan penting bagi proses pembanguna
di Mamasa. saya membayangkan jika benar-benar kita mengamalkan nilai adat-istiadat
dalam kedaerahan, taka terpungkiri akan tercipata sebuah komunitas masyarakat yang kokoh dan punya integritas
yang berwibawa.
Karena
tulisan ini lebih mengarah pada proses transformasi, maka penulis mencoba
mengidentifikasi berbagai fenomena sosial yang terjadi dalam beberapa dasawarsa
terakhir ini. Di antaranya proses transformasi kultur, sistem tata ruang
(masyarakat, pemerintah, masyarakat adat). Hasil amatan saya selama hidup
dibawa kebudayaan Mamasa, benar-benar tidak saya sia-siakan, meskipun harus ada
pengakuan bahwa selama ini saya hanya penonton, dan juga menjadi “korban
transformasi” yang keliru. Kenapa saya mengatakan demikian ini tidaklah cukup
jika saya hanya menjelaskan dalam sisi tertentu, tetapi saya akan menggagasnya
dari berbagai macam sisi, yang dalam hal ini adalah indikator pembangunan, baik
itu pembangunan kemanusian. Kesejahteraan, sumberdaya, dan yang lebih penting
adalah nilai sebuah kebudayaan. Masyarakat Mamasa telah membuktikan bahwa dasar
kedaerahan dibanguna di Mamasa dengan asas UU, yaitu di bawah sub sistem
pemerintahan, mulai dari sentra Kabupaten, Kecamatan, dan Desa/lurah, yang didalamnya
beranggotakan masyarakat, ketika masyarakat telah menyatu dalam sebuah sistem
kebijakan maka ia akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kebijakan
tersebut, meskipun itu tidak ada kesepakatan awal.
Sekilas Transformasi yang Keliru
Sejak berdirinya
Mamasa menjadi kabupaten, mata kepala dari berbagai masyarakat telah tertutuju
bahwa kita akan menjadi daerah yang siap bersaing, dengan sedikit mengedepankan
modal kebudayaan yang kita miliki, dan juga menjadi sebuah identitas pasti. Lalu
apakah benar kita sudah siap bersaing, okey jika masyarakt di tanya pasti kebanyakan
mengiakan, namun persoalanya apakah kita sudah memiliki modal sosial yang cukup
untuk melakukan hal tersebut. Wujud kekecewaan saya selama ini saat,
ruang-ruang sosial, yang seharusnya di isi oleh orang-orang yang matang dalam
prospek pembangunan ternyata di isi dengan orang-orang yang hanya bermodal
ijazah tok, yang kausalitasnya tidak jelas dari menakah ijazah itu. Orang yang
dulunya saya kenal sebagai orang yang hanya mondar-mandir di daerah, sekarang
telah mondar-mandir di kantoran, sehingga apa yang terjadi tentunya dia akan
kecenderungan memraktekkan pengalaman selama belum masuk kantor, maka
keonsekuensi logisnya adalah kantoran pun menjadi ajang permainan. Bukan berarti
kita tidak bersyukur dengan adanya putera daerah yang telah mengabdi untuk masa
depan daerah, namun apalah artinya jika
dia hanya hadiri sebagai icon saja, bahwa dia adalah seorang PNS. Ketika di
tanya kinerja yang ia telah lakukan ia hanya menjawab saya telah melakukan apa
yang ada dikertas, namun substansinya tidak ada, ini kan lucu. Lalu jika ini
semua merambah pada keseluruhan sektor, baik itu ekonomi, pendidikan, politik,
yang hanya di isi oleh modal ijazah tok tampa punya asas yang jelas bagaiman
produk masyarakat selanjutnya jika terus menerus terjadi. Maka satu kesimpulan
yang akan muncul yaitu regenerasi pembodohan secara sengaja.
Kemudian
kita coba tinjau dari sisi ekonomi, benar bahwa tingkat kemiskinan di daerah Mamasa
tidaklah begitu tinggi jika dibandingka dengan daerah lain, tetapi perlu
diketahui bahwa seharusnya Mamasa bebas dari kemiskinan, alasanya karena Mamasa
sumberdaya manusia seimbang dengan kuantitas penduduk, maka tingkat
ketergantungan di Mamasa tidak nampak. Tetapi persoalan ekonomi tidak haya
sampai di situ saja, perlu kita ketahuai bahwa tingkat kemandirian masyarakat
dalam mengembangkan kreativitas, juga adalah bagian dari model ekonomi, lalu
apakah ini telah terpenuhi. Saya rasa sangat belum, ini kenapa karena memang
pendidikan yang telah diperkenalkan melalui basis pengetahuan sudah tidak
tepat. Ruang pendidikan yang seharusnya hadir sebagai salah satu basis
perubahan dalam membangun karakter masyarakat, telah di nodai dengan pendidikan
yang tidak sampai di atas rata-rata, maksudnya adalah pendidik hanya
memindahkan isi buku kepada anak didik, selebihnya tentang analisis,
terabaikan, lalu murid mau tau apa jika model pembelajaran yang seperti ini. Soal-soal
seperti inilah yang menjadi indikasi tentang lambannya tingkat perekonomian di
Mamasa.
Lalu
yang paling menarik adalah bidang politik, dunia mengakui bahwa keberhasilan
sebuah negara ditentukan bagaimana strategi politik yang digunakan, untuk dapat
selalu menjamin masyarakatnya tetap survive dalam negaranya. Ini artinya bahwa
memang yang dibutuhkan hadir dalam bidang ini benar-benar orang yang mengerti
tentang etika politik, karena yang didepan yang akan unjuk gigi adalah
orang-orang tersebut, keitka orang politik telah keos, maka ini akan sangat
berdampak buruk bagi keadaan komunitasnya. Maka yang sangat ditekankan dalam
hal ini adalah ketepatan dalam mengambil sebuah keputusan untuk orang banyak,
dengan memperhatikan kaidah-kaidah normatif yang ada, baik itu aturan yang
telah di atur oleh negara, maupun aturan adat-istiadat. Jika terjadi sebuah
pengabaian terhadap kaidah-kaidah normatif, maka kemungkinan besar komunitas
akan mengalami distorsi atau tumbang. Relasinya
dengan eksistensi perpolitikan di Mamasa, benar-benar mengabaikan ke dua
kaidah-kaidah tersebut, artinya bahwa kalau memang mengerti tentang sebuah
nilai maka mereka akan ekstra hati-hati dalam merumuskan sesuatu yang menjadi
agenda dalam masyarakat. Tetapi nyatanya elit-elit yang berdasi benar-benar tak
menjadikah hal itu menjadi sebuah kesalahan yang fatal. Mungkin inilah yang
disebut sebagai euforia politik praktis, saya hanya memahami satu hal bahwa
orang yang tidak mendalami ilmu politik kecenderungan menerapkan politik
praktis kira-kira seperti itulah yang terjadi di Mamasa. Keberanian saya dalam
mengeluarkan hipotesis seperti ini karena dampak tersebut sempat aku rasakan,
maka kalau ada yang bertanya apakah anda memiliki aras pembuktian, saya Cuma menjawab
buktinya telah menjadi budaya di Mamasa, maka belajarlah dari pengalaman mu.
Petualanga
pemikiran saya tidak hanya sampai di sini, saya kemudian mencoba menganalsis
tentang eksistensi kebudayaan yang dimiliki Mamasa, tidak salah lagi bahwa
masyarakat Mamasa pada awalnya sangat kental adat-istiadatnya, hal ini terbukti
dalam pengalaman saya saat mencoba jalan-jalan ketempat-tempat lain, di luar
desaku, saya selalu saja menemukan mitos-mitos, yang hampir cirinya sama di
tempat saya dan di daerah lain di wilaya Mamasa, dan itu dipraktekkan oleh
kebanyakan orang tua, coba bahasa mitos kita gunakan berbicara dengan ABG,
sekarang paling cap yang muncul adalah norak, kalu orang Jawa bilang “Wong
Ndeso” dan sudah dianggap usang, ini kan
bentuk pergesaran paradigma, tentang sebuah identitas. Mungkin bisa dibenarkan
bahwa mitos yang dulu sudah tidak relevan saat ini. Di tambah lagi hadirnya
kepercayaan modern, yang kian mempengaruhi paradigma masyarakat tentang
pandangan dunia. Semua ini kan indikator dari modernisasi yang keliru, saya
tidak meletakkan kebudayaan dalam padangan jaman, bahwa karena ini sudah bukan
lagi jaman batu (taradisional) maka sepantasnya nilai budaya tradisional pun
harus ditinggalkan, dengan sepenuhnya mengacu kepada agama, atau jika kita pinjam bahasanya Aguste Comte di
sebut sebagai tahap positivistik. Saya meyakini satu hal tentang kepercayaan
(Agama), bahwa salah satu ukuran sebuah
keberhasilan agama ketika ia bisa bersinergi dengan baik dengan, kebudayaan
dalam sebuah masyarakat tampa terjadi reduksi nilai diantara keduanya. Lalu apa
yang kita bisa bahasa terkait dengan budaya dalam tata ruang di Mamasa, seperti
yang saya katakan tadi bahawa memang ada sebuah pergeseran paradigma terkait
dengan kebudayaan, ini tidak hanya terjadi di kalangan generasi muda yang sudah agak gengsi mewarisi komunikasi
budaya, namun di tataran pemerintahan di Mamasa pun terjadi, kasus yang terjadi
dipemerintahan tidak sama dengan paham yang terbangun di kalangan anak muda,
yaitu gengsi, tetapi orang-orang elit
(pemerintah) telah melupakan
nilai adat istiadat, dengan mengedepankan euforia perpolitikan, akhirnya
yang terjadi adalah pemerintah tidak lagi punya batasan dalam bertindak,
berpikir dalam mengambil sebuah
kepututsan. Jika sebuah batasan tak lagi nampak maka sendi-sendi pembangunan
dalam daerah akan terpengaruh, itu alasanya Mamasa hingga kini tidak pernah
mencapai kesetabilan ekonomi, politik, apalagi SDM, karena aparatur yang
berperan sebagai stimulus keliru dalam menginterpretasi sebuah perubahan, yang dalam
hal ini adalah pemaknaan modernisasi.
Ingat bahwa pikiranmu adalah wakil dari gambaran
kepribadianmu