Kasus kekerasan
yang dilakukan sekumpulan mahasiswa yang tergabung dalam tim ospek atau yang di
sering di sapa senior angkatan, menjadi momok yang Nampak menakutkan bagi
beberapa siswa yang baru lulus dari banguku SMA. Tindakan-tindakan kekerasan
yang dilakukan terhadap adik-adik junior sangat beragam, mulai dari kekerasan
fisik, mental bahkan ada yang sudah mengarah pada tindakan asusila. tiga bulan
yang lalu kultur pendidikan kembali tercoreng dengan menyebarnya berita yang
memilukan yang datang dari seorang mahasiswa baru di Surabaya, di mana
mahasiswa tersebut bernama Fikri asal NTT meninggal dunia akibat beberapa tindakan
kekerasan yang menimpa dirinya pada saat ospek dilakukan oleh senior dari
kampus ITN. Kejadian tersebut semakin memanas ketika beberapa foto yang
berhasil di kumpulkan terlihat tindakan-tindakan senior yang memperlakukan
gaya-gaya erotis terhadap maba perempuan dan juga kekerasan fisik. Bahkan
menurut media yang meliput ada juga yang disuru oral dengan mengunakan buah
wortel yang menyerupa alat kelamin pria, sungguh tindakan yang sangat memalukan
yang dilakukan oleh kaum-kaum yang dikatakn orang yang sedang mengemban
pendidikan.
Senior
dalam kultur akademik tidak lagi menjadi sebuah sapaan atas yang lebih di
anggap tua dan di hargai, sebagaimana dalam kultur masing-masing daerah yang di
luar dari bangku pendidikan juga sering
di di terapkan bahwa bagaimana kita menghargai yang lebih tua. Namun
akhir-akhir ini senior di maknai menjadi sesuatu yang tinggi dan
dominan dalam lingkungan kampus dan juga menjadi sebuah identitas baru bagi
mahasiswa-mahasiswa senior untuk berbuat seenak perutnya terhadap mahasiswa
baru. Beberapa tindakan-tindakan yang merusak citra pendidikan yang dilakukan
oleh beberapa pelajar-pelajar ini menjadi trauma tersendiri bagi anak-anak yang
ingin melanjutkan pendidikanya, dan ini terus di warisi setiap pergantian taun
ajaran, jika mereka sebelumnya saat di ospek di sajikan dengan
tindakan-tindakan yang kasar dan juga keras, maka mereka pun akan melakukan hal
yang sama terhadap yang baru masuk dan inilah yang mungkin saya sebut ajang
balas dendam.
Meskipun
sebelumnya hal itu penulis sudah smenyadari tentang beberapa kekerasan ospek
dalam perguruan tinggi, tapi penulis tetap berprinsip bahwa saya akan menolak dan
memutuskan tidak kuliah di kampus manapun jika kampus tersebut menyajikan ospek
yang mengutamakan ospek fisik, namun beruntung saya berhasil masuk di salah
satu universitas swasta di Jawa tengah yang menyajikan ospek yang di luar yang
saya tidak inginkan. Ospek yang saya dapatkan justru menjadi semangat baru
saya dalam mengembangkan potensi yang
saya ingin kembangkan dalam pendidikan saya karena ospeknya menyentuh pada aspek sosialisasi, seperti bersih-bersi
kampung dan juga perkenalan bagi warga, pembinaan yang meskipun di lakukan di
lapangan yang diselimuti terik matahari tapi tidak apa –apa yang penting kepala
terisi karena memang ospek demikianlah yang sekiranya menyentuh di aras
pendidikan. Dan di kampus yang ini juga sangat jarang mengunakan kata senior
dan junior melainkan sapaan yang lebih akrab yaitu “Kak untuk yang senior sapaan
dek untuk yang masi junior” , kata ini
sesungguhnya sama saja namun terkdang beberapa orang yang keliru memakni
tentang senior ketika identitas ini dilekatkan kepad sesorang.
Namun
bukan berarti karena di kampus penulis kata ‘senior dan “junior” jarang
digunakan akhirnya saya mengkritisi, tetapi karena saya menilai secara pribadi
kata tersebut Nampak tidak etis dalam lembaga pendidikan. Dalam padangan
penulis selain dalam ospek dengan
mengunakan kata senior ini sering kali mengungkung kemampuan bagi yang junior dalam berbicara oleh karena yang senior selalu
diposisikan sebagai yang tertinggi dan bahkan bisa jadi mengkalim dirinya yang
selalu benar, sementara dalam lembaga pendidikan yang di utamakan adalah
produktifitas berpikir, bukan sebuah identitas yang tidak jelas. Mungkin agak
hiperbola jika saya katakana ini adalah ‘kasta’ yang dibangun oleh kultur
pendidikan, tetapi memang nyatanya seperti demikian yang terjadi, faktalah yang
meringankan penulis untuk berbicara demikian. Sangatlah tidak bijak jika ospek
dalam lembaga pendidikan melampau ospek-ospek yng di gunakn oleh orang-orang
militer saat pendidikan, jika militer menerapkan hal demikian tidaklah
mengherankan karena memang itu adalah persyaratan untuk menguji stamina fisik
dan juga mental. Tapi apa jadinya jika model tersebut di terapkan dalam lembaga
pendidikan seperti kampus, ini sama sekali tidak sinkron dengan apa yang
dicita-citakan lembaga pendidikan. Dalam penyelenggaran ospek yang dilakukan
oleh senior mahsiswa yang tidak sesuai dengan syarat lembaga pendidikan misalkan
di suruh lari di lapangan yang kapasitanya sebesar lapangan bola, dan itu
dilakukan beberapa kali dan kecenderungan itu dilakuka di matahari yang panas,
dan tidak disediakan air minum, lalu sisi apa yang di kemabangkan jika di
korelasikan dengan pendidikan?,di
botakin semabari di perintahkan oleh seniornya untuk pusap, lari, minum air di
gelas kemudian di join ke beberap peserta ospek? Ada kaitan tidak dengan pendidikan
?, dan bayangkan jik hl ini terus di kembangkn dri genersi-ke generasi dan mengkar
dalam kultur pendidikn kita maka berhenti kita bicara tentang pendidikan yang
berbasis pengembangan pemikiran yang lebih maju.
Kasus kekerasan
yang dilakukan sekumpulan mahasiswa yang tergabung dalam tim ospek atau yang di
sering di sapa senior angkatan, menjadi momok yang Nampak menakutkan bagi
beberapa siswa yang baru lulus dari banguku SMA. Tindakan-tindakan kekerasan
yang dilakukan terhadap adik-adik junior sangat beragam, mulai dari kekerasan
fisik, mental bahkan ada yang sudah mengarah pada tindakan asusila. tiga bulan
yang lalu kultur pendidikan kembali tercoreng dengan menyebarnya berita yang
memilukan yang datang dari seorang mahasiswa baru di Surabaya, di mana
mahasiswa tersebut bernama Fikri asal NTT meninggal dunia akibat beberapa tindakan
kekerasan yang menimpa dirinya pada saat ospek dilakukan oleh senior dari
kampus ITN. Kejadian tersebut semakin memanas ketika beberapa foto yang
berhasil di kumpulkan terlihat tindakan-tindakan senior yang memperlakukan
gaya-gaya erotis terhadap maba perempuan dan juga kekerasan fisik. Bahkan
menurut media yang meliput ada juga yang disuru oral dengan mengunakan buah
wortel yang menyerupa alat kelamin pria, sungguh tindakan yang sangat memalukan
yang dilakukan oleh kaum-kaum yang dikatakn orang yang sedang mengemban
pendidikan.
Senior
dalam kultur akademik tidak lagi menjadi sebuah sapaan atas yang lebih di
anggap tua dan di hargai, sebagaimana dalam kultur masing-masing daerah yang di
luar dari bangku pendidikan juga sering
di di terapkan bahwa bagaimana kita menghargai yang lebih tua. Namun
akhir-akhir ini senior di maknai menjadi sesuatu yang tinggi dan
dominan dalam lingkungan kampus dan juga menjadi sebuah identitas baru bagi
mahasiswa-mahasiswa senior untuk berbuat seenak perutnya terhadap mahasiswa
baru. Beberapa tindakan-tindakan yang merusak citra pendidikan yang dilakukan
oleh beberapa pelajar-pelajar ini menjadi trauma tersendiri bagi anak-anak yang
ingin melanjutkan pendidikanya, dan ini terus di warisi setiap pergantian taun
ajaran, jika mereka sebelumnya saat di ospek di sajikan dengan
tindakan-tindakan yang kasar dan juga keras, maka mereka pun akan melakukan hal
yang sama terhadap yang baru masuk dan inilah yang mungkin saya sebut ajang
balas dendam.
Meskipun
sebelumnya hal itu penulis sudah smenyadari tentang beberapa kekerasan ospek
dalam perguruan tinggi, tapi penulis tetap berprinsip bahwa saya akan menolak dan
memutuskan tidak kuliah di kampus manapun jika kampus tersebut menyajikan ospek
yang mengutamakan ospek fisik, namun beruntung saya berhasil masuk di salah
satu universitas swasta di Jawa tengah yang menyajikan ospek yang di luar yang
saya tidak inginkan. Ospek yang saya dapatkan justru menjadi semangat baru
saya dalam mengembangkan potensi yang
saya ingin kembangkan dalam pendidikan saya karena ospeknya menyentuh pada aspek sosialisasi, seperti bersih-bersi
kampung dan juga perkenalan bagi warga, pembinaan yang meskipun di lakukan di
lapangan yang diselimuti terik matahari tapi tidak apa –apa yang penting kepala
terisi karena memang ospek demikianlah yang sekiranya menyentuh di aras
pendidikan. Dan di kampus yang ini juga sangat jarang mengunakan kata senior
dan junior melainkan sapaan yang lebih akrab yaitu “Kak untuk yang senior sapaan
dek untuk yang masi junior” , kata ini
sesungguhnya sama saja namun terkdang beberapa orang yang keliru memakni
tentang senior ketika identitas ini dilekatkan kepad sesorang.
Namun
bukan berarti karena di kampus penulis kata ‘senior dan “junior” jarang
digunakan akhirnya saya mengkritisi, tetapi karena saya menilai secara pribadi
kata tersebut Nampak tidak etis dalam lembaga pendidikan. Dalam padangan
penulis selain dalam ospek dengan
mengunakan kata senior ini sering kali mengungkung kemampuan bagi yang junior dalam berbicara oleh karena yang senior selalu
diposisikan sebagai yang tertinggi dan bahkan bisa jadi mengkalim dirinya yang
selalu benar, sementara dalam lembaga pendidikan yang di utamakan adalah
produktifitas berpikir, bukan sebuah identitas yang tidak jelas. Mungkin agak
hiperbola jika saya katakana ini adalah ‘kasta’ yang dibangun oleh kultur
pendidikan, tetapi memang nyatanya seperti demikian yang terjadi, faktalah yang
meringankan penulis untuk berbicara demikian. Sangatlah tidak bijak jika ospek
dalam lembaga pendidikan melampau ospek-ospek yng di gunakn oleh orang-orang
militer saat pendidikan, jika militer menerapkan hal demikian tidaklah
mengherankan karena memang itu adalah persyaratan untuk menguji stamina fisik
dan juga mental. Tapi apa jadinya jika model tersebut di terapkan dalam lembaga
pendidikan seperti kampus, ini sama sekali tidak sinkron dengan apa yang
dicita-citakan lembaga pendidikan. Dalam penyelenggaran ospek yang dilakukan
oleh senior mahsiswa yang tidak sesuai dengan syarat lembaga pendidikan misalkan
di suruh lari di lapangan yang kapasitanya sebesar lapangan bola, dan itu
dilakukan beberapa kali dan kecenderungan itu dilakuka di matahari yang panas,
dan tidak disediakan air minum, lalu sisi apa yang di kemabangkan jika di
korelasikan dengan pendidikan?,di
botakin semabari di perintahkan oleh seniornya untuk pusap, lari, minum air di
gelas kemudian di join ke beberap peserta ospek? Ada kaitan tidak dengan pendidikan
?, dan bayangkan jik hl ini terus di kembangkn dri genersi-ke generasi dan mengkar
dalam kultur pendidikn kita maka berhenti kita bicara tentang pendidikan yang
berbasis pengembangan pemikiran yang lebih maju.