A. Pengertian
Perempuan dalam relasi jender
Sebelum membicarakan tentang
perempuan dala relasi jender , terlebih dahulu penulis menyampaikan tentang
arti perempuan dan
relasi jender.
Dalam Kamus
Bahasa Indonesia disebutkan,
perempuan adalah orang
(manusia) yang mempunyai
puka, dapat menstruasi,
hamil, melahirkan anak dan menyusui. Sedangkan wanita adalah perempuan
dewasa. Dari sini dapat
diketahui, bahwa perempuan
adalah manusia yang mempunyai puka
tidak dibedakan umurnya.
Tetapi kalau wanita
adalah perempuan yang sudah mencapai dewasa.
Sedangkan jender,
mulai diperbincangkan manusia,
ketika ada salah satu
perubahan yang paling
mencolok dalam hal
kemanusiaan pada 80-an adalah timbulnya
isu jender sebagai
kategori analisis. Dalam
kebangkitan kritisisme feminis,
jender telah menjadi sebuah
kesadaran sebagai penentu yang sangat krusial dalam produksi, sirkulasi, dan
konsumsi wacana kesusasteraan.
Teori jender
mulai berkembang sejak
awal 80-an dalam
pemikiran feminis baik dalam bidang
sejarah, antropologi, filsafat, psikologi
dan ilmu alam dengan
membuat peralihan (perubahan)
dari investigasi yang
berfokus pada perempuan pada
tahun 70-an; seperti
investigasi tentang sejarah perempuan, gynocriticism dan psikologi
perempuan, kepada studi relasi
jender ,yang melibatkan
perempuan dan laki-laki. Perubahan paradigma
itu membawa pengaruh yang
sangat radikal yang
tertransformasi pada beberapa
disiplin kajian tentang perempuan. Dari sini dapat dilihat bahwa
“jender” termasuk hal yang masih baru. Berbicara tentang
jender berarti berbicara
tentang laki-laki dan perempuan. Pengertian tentang
jender itu sendiri
masih belum mencapai kesepakatan resmi.
Sementara kata “jender”
berasal dari bahasa
Inggris, “gender”, berarti “jenis kelamin. Arti demikian
sebenarnya kurang tepat, karena
disamakan dengan sex
yang berarti jenis
kelamin Hal ini
karena kata jender termasuk
kosa kata baru,
sehingga belum ditemukan
di dalam Kamus Bahasa Indonesia.
Tetapi kendatipun demikian, istilah tersebut biasa digunakan di kantor Menteri
Urusan perempuan, dengan ejaan “jender”. Jender diartikan sebagai interpretasi
mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin, yakni laki-laki dan
perempuan. Jender biasanya
digunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap
tepat bagi laki-laki dan perempuan. Ann
Oakley, salah seorang
feminis pertama dari
Inggris, yang menggunakan konsep
jender, mengatakan bahwa,
”Jender” adalah masalah budaya, merujuk kepada klasifikasi
sosial dari laki-laki dan perempuan menjadi maskulin dan
feminin, berbeda karena
waktu dan tempat.
Sifat tetap dari
jenis kelamin harus diakui, demikian juga sifat tidak tetap dari gender”
.
Dari sini
dapat disimpulkan bahwa
jender tidak memiliki
asal usul biologis. Hubungan
antara jenis kelamin
dan jender tidak
benar-benar “alamiah”. Ann Oakley
menambahkan bahwa, jender
adalah perbedaan yang bukan
biologis dan bukan
kodrat Tuhan. Perbedaan biologis, yaitu
perbedaan jenis kelamin yang
bermuara dari kodrat
Tuhan, sementara jender
adalah perbedaan yang bukan kodrat Tuhan, tetapi diciptakan oleh kaum
laki-laki dan perempuan, melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Jender
mengacu ke peran perempuan dan laki-laki yang dikonstruksikan secara sosial.
Peran tersebut berubah
dari waktu ke
waktu dan beragam menurut budaya dan antarbudaya.
Sebaliknya, identitas sex biologis ditentukan oleh ciri-ciri genetika dan
anatomis Sementara H.T.Wilson
berpendapat bahwa, jender
merupakan suatu dasar untuk
menjelaskan tentang bagaimana
sumbangan laki-laki dan perempuan dalam masalah kebudayaan dan
kehidupan bersama, yang berakibat ia menjadi laki-laki atau perempuan. Jender
adalah seperangkat peran, seperti halnya
kostum dan topeng
di teater, menyampaikan
kepada orang lain
bahwa termasuk feminin atau maskulin.
Dari beberapa
definisi tersebut, dapat
disimpulkan bahwa, jender adalah konsep yang melihat peran
laki-laki dan perempuan dari segi sosial dan budaya, tidak
dilihat dari jenis
kelaminnya. Sedangkan relasi
jender, mempersoalkan posisi perempuan
dan laki-laki dalam
pembagian sumberdaya dan tanggung
jawab, manfaat, hak-hak,
kekuasaan dan previlese.
Penggunaan relasi jender sebagai suatu kategori analisis tidak lagi
berfokus pada perempuan yang dilihat terisolasi dari laki-laki.
B. Jender
dan Sex
Dahulu, pada
masyarakat primitif, orang
belum banyak tertarik
untuk membedakan sex dan
jender, karena persepsi
yang berkembang di
dalam masyarakat menganggap perbedaan
jender (gender differences)
sebagai akibat perbedaan sex
(sex differences). Pembagian
peran dan kerja
secara seksual dipandang sesuatu
hal yang wajar.
Akan tetapi, dewasa
ini disadari bahwa, tidak mesti perbedaan sex menyebabkan
ketidakadilan jender (gender inequality). Dalam
wacana feminis term
jender telah digunakan beberapa tahun
yang lalu dalam
bidang makna sosial,
budaya, dan makna psikologis untuk
menentukan identitas sexual
biologis.
Secara umum Gender
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dari segi
sosial-budaya, sedangkan sex digunakan
untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi
anatomi biologi. Istilah sex lebih
banyak berkonsentrasi kepada aspek
biologi seseorang, meliputi perbedaan
komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik,
reproduksi, dan karakteristik biologi lainnya. Sementara itu, jender lebih
banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial,
budaya, psikologis, dan
aspek-aspek non biologis lainnya.
Sex atau
jenis kelamin adalah
perbedaan biologis antara
laki-laki dan perempuan. Perbedaan
jenis kelamin berkenaan
dengan kenyataan bahwa
laki-laki memproduksi sperma, sementara perempuan melahirkan dan
menyusui anak. Laki-laki
dan perempuan mempunyai
tubuh yang berbeda, hormon yang
berbeda, dan kromosom
yang berbeda. Perbedaan
jenis kelamin atau sex adalah
sama di semua negara, dan merupakan fakta mengenai
biologi manusia, tetapi, kata
“jender” digunakan untuk mengenali menjadi laki-laki atau menjadi perempuan
tidak sama dari satu budaya ke budaya yang lain. Jender menjelaskan
semua atribut, peran
dan kegiatan yang
terkait dengan “menjadi laki-laki” atau “menjadi perempuan”. Jender
berkaitan dengan bagaimana dapat dipahami dan diharapkan untuk berfikir dan bertindak sebagai.
Jender juga berkaitan
dengan siapa yang memiliki kekuasaan. Semenjak
dahulu, manusia telah
mempunyai kemampuan mengklasifikasikan lingkungannya
menurut simbol-simbol yang diciptakan dan
dibakukan dalam tradisi
dan dalam sistem
budayanya. Karena proses simbolisasi ini sangat terkait dengan sistem,
budaya atau struktur sosial setiap
masyarakat, perbedaan jender
tidak selalu bertumpu kepada
perbedaan biologis. Istilah jender sekarang
telah umum digunakan
dalam literatur studi perempuan. Namun
pembedaan antara jender
dan sex ini
bukan tanpa persoalan, misalnya
Maria Mies mengatakan
bahwa, sex ataupun sexualitas manusia tidak dapat dilihat
semata-mata hanya sebagai masalah biologis. Fisiologi manusia
sepanjang sejarah telah
dipengaruhi dan telah dibentuk oleh dimensi sosial budaya
hubungan manusia. Demikian juga, kaum
feminis radikal mengatakan
bahwa, pemisahan istilah sex
dan jender melahirkan
klasifikasi yang seolah-olah
dapat memberi batasan tajam
antara apa yang
biologis dan apa
yang sosial/kultural. Hal
ini tampak dengan jelas
dalam konsep sexualitas
di mana sesuatu
yang oleh kebanyakan orang
dianggap sebagai hal
yang biologis, alamiah
dan instinktif. Dalam berbagai
studi yang dilakukan
orang ternyata sangat
dibentuk oleh konteks sosial
politik yang berlaku pada zaman tertentu. Dari
penjelasan tersebut di
atas, kiranya sangat
jelas bahwa, jender
dan sex sangat berbeda.
Jender dapat berubah,
sedangkan sex adalah
bersifat biologis, yang tidak mungkin diadakan perubahan.
C. Jender
dan Perempuan
Perempuan secara
langsung menunjuk kepada salah satu dari dua jenis kelamin, meskipun di dalam
kehidupan sosial selalu dinilai sebagai the other sex yang
sangat menentukan mode
sosial tentang status
dan peran perempuan. Marginalisasi perempuan
yang muncul kemudian
menunjukkan bahwa perempuan menjadi the
second sex, seperti juga
sering disebut sebagai “warga kelas dua” yang keberadaannya
tidak begitu diperhitungkan. Pembahasan tentang perempuan sebagai suatu kelompok
memunculkan sejumlah kesulitan. Konsep “Posisi perempuan” dalam masyarakat
memberi kesan bahwa, ada
beberapa posisi universal
yang diduduki oleh
setiap perempuan di semua
masyarakat. Kenyataannya bahwa,
bukan semata-mata tidak ada
pernyataan yang sederhana
tentang “Posisi perempuan”
yang universal, tetapi di
sebagian besar masyarakat
tidaklah mungkin
memperbincangkan perempuan sebagai
kelompok yang memiliki
kepentingan bersama.
Perempuan ikut andil
dalam stratifikasi masyarakat.
Ada perempuan kaya, ada
perempuan miskin, dan
latar belakang kelas
kaum perempuan mungkin sama
penting dengan jendernya
dalam menentukan posisi
mereka di masyarakat.
Dalam masyarakat
multikultural, latar belakang
etnis seorang perempuan, bahkan
mungkin lebih penting daripada kelas. Istilah
jender juga berguna,
karena istilah itu
mencakup peran sosial kaum perempuan maupun laki-laki. Hubungan
antara laki-laki dan perempuan
seringkali amat penting
dalam menentukan posisi
keduanya. Demikian pula, jenis-jenis hubungan
yang dapat berlangsung
antara perempuan dan
laki-laki akan merupakan konsekuensi
dan pendefinisian perilaku
jender yang semestinya dilakukan
olah masyarakat
D. Jender
antar kultural
Struktur sosial
masyarakat yang membagi-bagi
antara laki-laki dan perempuan
seringkali merugikan perempuan.
Perempuan diharapkan dapat mengurus dan
mengerjakan berbagai pekerjaan
rumah tangga, walaupun mereka bekerja di luar rumah tangga,
sebaliknya tanggungjawab laki-laki dalam mengurus rumah tangga sangat kecil.
Sebagian masyarakat beranggapan bahwa, tugas-tugas kerumahtanggan dan pengasuhan
anak adalah tugas
perempuan, walaupun perempuan
tersebut bekerja. Ada batasan
tentang hal yang
pantas dan tidak
pantas dilakukan oleh laki-laki ataupun
perempuan dalam menjalankan
tugas-tugas rumah tangga. Perempuan kurang
dapat mengembangkan diri,
karena adanya pembagian tugas tersebut.
Peran ganda laki-laki
kurang dapat diharapkan
karena adanya idiologi tentang
pembagian tugas secara seksual.
Dalam setiap masyarakat,
peran laki-laki dan
perempuan mempunyai
perbedaan. Perbedaan yang
dilakukan mereka berdasar
komunitasnya, status maupun kekuasaan
mereka. Perbedaan perkembangan peran
jender dalam masyarakat disebabkan
oleh berbagai faktor,
mulai dari lingkungan
alam, hingga cerita dan
mitos-mitos yang digunakan
untuk memecahkan teka-teki perbedaan jenis kelamin.
Dalam masyarakat
terdapat bermacam-macam kerja
yang dilakukan oleh laki-laki
dan perempuan. Pembagian
kerja tersebut berdasarkan
jender (gender division of
labour). Misalnya, di dalam
masyarakat primitif, menurut antropolog Ernestine
Friedl, seperti yang
dikutip Budiman, bahwa
perempuan lebih penting dari laki-laki.
Pada masyarakat primitif,
ketika manusia masih
hidup mengembara dalam kelompok
kecil, bahaya yang
paling ditakuti adalah
musnahnya kelompok, yang disebabkan
matinya anggota kelompok.
Karena itu, jumlahnya harus diperbesar dengan cara memperbanyak lahirnya bayi-bayi, tetapi
jumlah anak yang lahir masih terbatas. Untuk itu laki-laki banyak dikorbankan,
dengan pergi ke medan
perang dan berburu,
yang mana pekerjaan
tersebut dapat membahayakan nyawa,
maka muncullah pembagian
kerja berdasarkan seks. Perempuan bekerja di dalam rumah,
laki-laki bekerja di luar.
Sedangkan di masyarakat
Mbuti di Afrika,
dan masyarakat Bali, memiliki peran
jender yang tumpang
tindih. Di kalangan
orang kerdil dalam berburu dan dalam pengasuhan anak
dilibatkan laki-laki dan perempuan.
Sementara di kalangan
orang Ambara, normanya
ayah jarang menyentuh anak-anaknya
selama dua tahun
pertama, dan setelah
dua tahun pertama, mengharapkan
kepatuhan sepenuhnya dari anak-anaknya. Dari
sini dapat diamati
bahwa, peran perempuan
dan laki-laki adalah buatan
atau ciptaan masyarakat.
Untuk itu dapat
diubah, seperti masyarakat primitif berlaku
demikian, karena adanya
keperluan untuk melestarikan kelompoknya. Tetapi dewasa ini,
karena sudah tidak diperlukan, peran laki-laki dan perempuan
akan berubah. Perubahan
tersebut, melalui proses
sosialisasi penjenderan,
harus berlangsung terus
menerus, dan dilaksanakan
di dalam keluarga dan
masyarakat.
E. Kesimpulan
Dari paparan di atas
kesimpulan yang bisa di tarik adalah bahwa jender bukanlah persoalan biologis,
apa lgi jika ingin dikatakan bahwa ini adalah kodrat Tuhan. Tetapi jender
adalah hasil konstruksi social yang dibuat oleh laki-laki dan perempuan itu
sendiri dalam waktu yang cukup panjang. Ann
Oakley, salah seorang
feminis pertama dari
Inggris, yang menggunakan konsep
jender, mengatakan juga bahwa,
”Jender” adalah masalah budaya, merujuk kepada klasifikasi
sosial dari laki-laki dan perempuan menjadi maskulin dan
feminin, berbeda karena
waktu dan tempat.
Sifat tetap dari
jenis kelamin harus diakui, demikian juga sifat tidak tetap dari gender”
. dari defenisi inilah bisa dikatakan
bahwa femenisme adalah sebuah alat untuk menganalisis dan untuk melihat
permasalahn social, yang mengarah kepada transformasi masyarakat. Posisi feminis
dalam hal ini adalah ingin membantu melihat adanya bentuk ketimpangan perilaku
baik yang bersifat structural maupun cultural melalui system pemikiran yang
menyeluruh. Sehingga feminism dapat di anggap sebagai cara pandang yang berusah
membedah dan menyelesaikan persoalan social, serta tindakan sadar antara
perempuan dan laki-laki dalam merubah keadaan.
Daftar
Pustaka
Ratna Megawangi, Membiarkan
Berbeda ? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender (Mizan Bandung 1999)
Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum
dan Masyarakat (Ghalia 1994)
www.angelinasondakh.com/nsroom/artikel/feminisme-perjuangan.pdf